KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
ILEUS OBSTRUKTIF
Disusun
oleh:
Lutfy Nooraini
KATA
PENGANTAR
Segala Puji bagi Sang Kholik yang
telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Makalah Kasus KMB 4, tanpa nikmat sehat yang diberikan oleh-Nya sekiranya
penulis tidak akan mampu untuk menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam selalu
tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, semoga atas ijin Allah SWT
penulis dan teman-teman semua akan mendapatkan syafaatnya nanti.
Tidak lupa penulis mengucapkan
terimakasih kepada teman-teman dan kerabat semua yang turut serta dalam
penulisan makalah ini, baik dari segi ide, kreatifitas, dan usaha. Tanpa ada
bantuan dari teman-teman semua, mungkin penulis akan mengalami hambatan dalam
penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam
makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bermanfaat untuk perbaikan makalah agar
menjadi lebih bermanfaat untuk kita semua.
Penulis,
LAPORAN PENDAHULUAN ILEUS OBSTRUKTIF
1. Pengertian
Ileus obstruktif adalah blok saluran usus
yang menghambat pasase cairan, flatus, dan makanan, dapat secara mekanis atau
fungsional (Iin Inayah, 2004 : 202).
Ileus obstruktif terjadi ketika terdapat
rintangan terhadap aliran normal dari isi usus, bisa juga karena hambatan
terhadap rangsangan saraf untuk terjadinya peristaltik atau karena adanya
blockage (Barbara C. Long, 1996 : 242).
Pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
ileus obstruktif adalah penyumbatan yang terjadi secara parsial atau komplit,
mekanik atau fungsional, yang terjadi bisa diusus halus ataupun diusus besar,
dapat mengakibatkan terhambatnya pasase cairan, flatus, dan makanan.
2. Etiologi
Susan C Smeltzer & Brenda G. Bare
(2002),Susan Martin Tucker (1998), Christian Stone M.D (2004) dan Barbara C
Long (1996) mengatakan bahwa penyebab dari ileus obstruktif adalah :
a.
Mekanis
1)
Adhesi, sebagai perlengketan fibrosa (jaringan ikat) yang abnormal di
antara permukaan peritoneum yang berdekatan, baik antar peritoneum viseral
maupun antara peritoneum viseral dengan parietal
2)
Hernia, terjebaknya bagian usus pada lubang abnormal.
3)
Karsinoma, tumor yang ada dalam dinding usus meluas ke lumen usus, atau
tumor diluar usus mendesak dinding usus.
4)
Massa makanan yang tidak dicerna.
5)
Sekumpulan cacing
6)
Tinja yang keras.
7)
Volvulus, terplintir atau memutarnya usus.
8)
Intussusception, masuknya satu segmen usus kedalam usus itu sendiri.
3. Patofisiologi
Lumen usus yang tersumbat secara progresif
akan terenggang oleh cairan dan gas (70 % dari gas yang tertelan) akibat
penekanan intralumen menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen usus kedarah.
Sekitar 8 liter cairan diekskresi kedalam saluran cerna setiap hari, karena
tidak adanya absorpsi mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat. Muntah
dan penyedotan usus setelah pengobatan merupakan sumber utama kehilangan cairan
dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penciutan ruang ekstra sel
yang mengakibatkan syok hipotensi. Pengaruh curah jantung, pengurangan perfusi
jaringan dan asidosis metabolic. Efek local peregangan usus adalah iskemia
akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrotik, disertai
absorpsi toksin-toksin bakteri kedalam rongga peritoneum dan sirkulasi
sistemik. Kehilangan sodium dan ion-ion klorida menyebabkan keluarnya potassium
dari sel, mengakibatkan alkalosis hipovolemik.
Menurut Susan C Smeltzer & Brenda G. Bare
(2002), akumulasi isi usus, cairan, dan gas terjadi didaerah diatas usus yang
mengalami obstruksi. Distensi dan retensi cairan mengurangi absorpsi cairan dan
merangsang lebih banyak sekresi cairan lambung. Dengan peningkatan distensi,
tekanan darah lumen usus meningkat, menyebabkan penurunan tekanan kapiler vena
dan arteriola. Pada gilirannya hal ini akan menyebabkan edema, kongesti,
nekrosis, dan akhirnya rupture atau perforasi. Muntah refluk dapat terjadi
akibat distensi abdomen.
4. Pathway
Adesi, hernia, karisnoma, massa, cacaing,
tinja, volvulus
Akumulasi usus
obstruksi
tidak flatus/ BAB
mengurangi obstruksi cairan
merangsang tekanan lumen usus
tekanan kapiler vena dan arteriola
ruptur/ perforasi
Laparatomy general
anestesi tubuh
tersedasi
luka insisi port de entri otot pernafasan
Distensi
abdomen melemah
|
hipotalamus
|
Merangsang
saraf perifer
Kehilangagan ion
|
Klorida dan
kalium
dalam darah
|
|||
Hilangnya
cairan dan natrium kehilangan
cairan akut
Syok
hipovolemik
5. Manifestasi Klinis
Susan Martin Tucker (1998), Christian Stone,
M.D (2004) dan Barbara C Long (1996) menemukan bahwa tanda dan gejala dari
ileus obstruktif adalah :
a.
Obstruksi Usus Halus
1)
Mual
2)
Muntah, pada awal mengandung makanan tak dicerna,selanjutnya muntah air
dan mengandung empedu, hitam dan fekal.
3)
Nyeri seperti kram pada perut, disertai kembung, nyerinya bisa berat dan
menetap.
4)
Demam sering terjadi, terutama bila dinding usus mengalami perforasi.
Perforasi dengan cepat dapat menyebabkan perdangan dan infeksi yang berat serta menyebabkan syok.
5)
Obstipasi dapat terjadi terutama pada obstrusi komplit.
6)
Abdominal distention
7)
Tidak adanya flatus
b.
Obstruksi Usus Besar
1)
Distensi berat
2)
Nyeri biasanya terasa didaerah epigastrium, nyeri yang hebat dan terus
menerus menunjukkan adanya iskemi atau peritonitis.
3)
Konstipasi dan obstipasi adalah gambaran umum obstruksi komplet
4)
Muntah fekal laten
5)
Dehidrasi laten
6)
Penyumbatan total menyebabkan sembelit yang parah, sementara penyumbatan
sebagian menyebabkan diare.
Manifestasi Klinik Laparatomi:
1.
Nyeri tekan
2.
Perubahan tekanan darah, nadi dan pernafasan
3.
Kelemahan
4.
Gangguan integumuen dan jaringan subkutan
5.
Konstipasi
6.
Mual dan muntah, anoreksia
6. Komplikasi
a.
Ketidakseimbangan elektrolit, akibat dari lumen usus yang tersumbat,
secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70 % gas yang ditelan)
akibat peningkatan tekanan intralumen, yang menurunkan aliran air dan natrium
dari lumen usus kedarah. Oleh karena itu sekitar delapan liter cairan
diekskresi kedalam saluran cerna setiap hari, tidak ada absorpsi mengakibatkan
penimbunan intra lumen dengan cepat. muntah dan penyedotan usus
b.
Asidosis metabolic
c.
Perforasi, akibat dari terlalu tingginya tekanan intra lumen.
d.
Syok, akibat dari kehilangan cairan yang berlebih kedalam lumen usus dan
kehilangan cairan menuju ruang peritoneum setelah terjadi perforasi.
7. Penatalaksanaan
a.
Puasa
b.
Selang nasogastrik harus dipasang, untuk dekompresi usus, mengurangi
muntah, dan mencegah aspirasi.
c.
Cairan parenteral dengan elektrolit, untuk perbaikan keadaan umum.
d.
Bedah(laparatomy), dilakukan apabila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ
vital berfungsi secara memuaskan.
e.
Analgetik
f.
Therapy oksigen.
8. Pengkajian
a.
Identitas
1)
Identitas klien
Data yang terdapat berupa nama, umur, jenis
kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, tanggal masuk, tanggal
pengkajian, nomor registrasi, diagnosa medik.
2)
Identitas penanggung jawab
Mencakup nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, hubungan dengan klien.
b.
Riwayat keperawatan
1)
Keluhan utama
Gangguan utama/terpenting yang dirasakan
klien sehingga ia butuh pertolongan.
2)
Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat penyakit sekarang yang ditemukan
ketika dilakukan pengkajian yang dijabarkan dari keluhan utama dengan menggunakan
teknik PQRST. Pasien ileus obstruktif sering ditemukan nyeri kram, rasa ini
lebih konstan apalagi bila bergerak akan bertambah nyeri dan menyebar pada
distensi, keluhan ini mengganggu aktivitas klien, nyeri ini bisa ringan sampai
berat tergantung beratnya penyakit dengan skala 0 sampai 10. Klien post
laparatomi pun mengeluh nyeri pada luka operasi, nyeri tersebut akan bertambah
apabila klien bergerak dan akan berkurang apabila klien diistirahatkan,
sehingga klien biasanya hanya berbaring lemas. Nyeri yang dirasakan klien
seperti disayat-sayat oleh benda tajam letaknya disekitar luka operasi, dengan
skala nyeri lebih dari 5 (0-10).
3)
Riwayat kesehatan dahulu
Klien dengan ileus obstruktif mempunyai
riwayat pernah dioperasi padabagian abdomen, yang mengakibatkan terjadinya
adhesi. Klien post laparatomi biasanya mempunyai riwayat penyakit pada system pencernaan.
4)
Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat dalam
keluarga sedikit sekali kemungkinan mempunyai ileus obstruktif karena kelainan
ini bukan merupakan kelainan genetik, ada kemungkinan pada keluarga dengan
ileus obstruktif dan post laparatomi mempunyai riwayat penyakit kanker dan
dapat pula mempunyai riwayat cacingan pada keluarga.
5)
Situasi Riwayat pekerjaan
tempat bekerja dan lingkungan.
6)
Riwayat geografi
Kondisi lingkungan tempat tinggal
7)
Riwayat social
Ada perubahan peran, pekerjaan, atau
aktivitas, klien akan merasa tergantung dan membutuhkan bantuan orang lain.kesembuhan
penyakit.
8)
Pola kebiasaan sehari-hari
Adanya kesulitan dalam melakukan aktivitas,
adanya gangguan dalam nutrisi biasanya tidak mampu makan dan minum karena mual
dan muntah, gangguan dalam tidur/istirahat, kesulitan BAB (konstipasi atau
obstipasi), personal hygiene kurang terpenuhi.
c. Pemeriksaan fisik
1)
Keadaan umum:
2)
Sistem pernafasan (breath)
3)
Sistem kardiovaskuler (blood)
4)
Sistem pencernaan(bawel)
5)
Sistem persyarafan (brain)
6)
Sistem musculoskeletal (bone)
7)
Sistem perkemihan (bladder)
8)
Sosial
9)
Spiritual
d.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan
penunjang pada pasien obstruksi usus sebagai berikut :
1)
Laboratorium : BUN, hematokrit, berat jenis urin meningkat, penurunan
kadar serum natrium, klorida dan kalium, leukosit meningkat, terdapat penurunan
sodium dan potassium.
2)
Enema barium membantu menentukan bila obstruksi didalam kolon.
3)
Pemeriksaan radiologis abdomen, foto rontgen bisa menunjukan lingkaran
usus yang melebar, yang menunjukkan lokasi dari penyumbatan dan juga bisa
menunjukkan adanya udara di sekitar usus di dalam perut yang merupakan tanda adanya
perforasi.
4)
Skan CT, MRI (magnetic resonance imaging), atau ultrasound membantu memastikan
diagnosis.
5)
Proktosigmoidoskopi membantu menentukan penyebab obstruksi bila didalam
kolon klien setelah laparotomi dibutuhkan pemeriksaan penunjang
e.
Diagnosa keperawatan
Kemungkinan diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien ileus obstrutif
menurut Judith M. Wilkinson (2005) dan Susan Martin Tucker, et al (1998)
sebagai berikut :
a.
Inefektif pola napas berhubungan dengan nyeri akut, distensi
b.
abdomen.
c.
Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah
d.
abnormal, kehilangan cairan abnormal, status puasa, mual dan
e.
muntah.
f.
Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen pembedahan.
g.
Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kemungkinan
h.
nekrosis.
Intervansi
Keperawatan
Intervansi keperawatan pada ileus obstruktif menurut Judith M.Wilkinson
(2005) dan Susan Martin Tucker, et al (1998) :
a.
Inefektif pola napas berhubungan dengan nyeri
akut, distensi abdomen.
Criteria hasil :
- Menunjukkan pernapasan yang dalam dan
dangkal.
- Memiliki pola nafas dan frekuensi dalam
batas normal
- Kepatenan jalan nafas adekuat
- Status tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi:
1.
Fasilitasi kepatenan jalan nafas
2.
Kaji pucat dan sianosis
3.
Pemberian oksigen sesuai kebutuhan
4.
Auskultasi suara nafas,
ada/tidaknya bunyi nafas tambahan
5.
Posisikan pasien dengan semi
fowler
6.
Suction sesuai kebutuhan
7.
Pantau terapi oksigen.
8.
Kaji dan ajarkan pasien untuk
membalik dan batuk setiap setiap 4 jam dan napas dalam setiap jam.
Rasional:
1.
Kepatenan jalan nafas mengindikasikan
efektivitas respirasi.
2.
Hipoksia dapat diindikasikan
dengan adanya pucat dan sianosis
3.
Hipoventilasi berhubungan dengan
penekanan diafragma menurunkan tekanan
arterial oksigen secara parsial.
4.
Crackels mengindikasikan komplikasi sistem pernafasan.
5.
Posisi supine meningkatkan resiko
obstruksi jalan nafas oleh lidah, bila dimiringkan maka pasien akan mengalami
aspirasi. Semi fowler adalah pilihan
yang tepat untuk kenyamanan, pengembangan ekspansi paru yang optimal,
menghindari aspirasi.
6.
Sekresi mempengaruhi efektifitas
pola nafas sehingga diperlukan penghisapan untuk memberikan kebersihan jalan
nafas.
7.
Menjaga status pernapasan klien agar tetap optimal, memberikan terapi sesuai yang dibutuhkan klien. Terapi
oksigen dilakukan untuk meningkatkan atau memaksimalkan pengambilan oksigen.
8.
Meningkatkan ventilasi semua segmen paru dan mobilisasi serta mengeluarkan
secret.
b.
Defisit volume cairan berhubungan dengan
kehilangan darah abnormal, kehilangan cairan abnormal, status NPO, mual.
Criteria hasil :
-
Pasien menunjukan tanda vital stabil : sistolik tekanan darah 90 –
140 mmHg, diastolic 50 -90 mmHg, nadi = 60
-100/menit
-
Urin output adekuat > 60 ml/jam
-
Membrane mukosa baik, turgor kulit baik
-
Menunjukan level elektrolit, BUN, hematokrit dan serum osmolalitas dalam keadaan normal.
Intervensi:
1.
Monitor dan perbaiki intake output, antara setiap jam dan perbandingkan.
Ukur dan dokumentasikan output urine setiap 1-4jam. Laporkan sebagai berikut :
- Urine output lebih dari 200ml/jam selama 2
jam
- urine output kurang dari 30ml/jam selama 2
jam
2.
Monitor hasil laboratorium sesuai indikasi. Laporkan sebagai berikut :
- Osmolalitas urine, kurang dari 200mOsm/kg
- Osmolalitas serum, lebih dari 300 mOsm/kg
- Serum sodium, lebih dari 145 mEq/L
- Peningkatan level BUN dan hematokrit
3.
Monitor ECG dan tekanan hemodinamika secara periodic.
Perhatikan adanya :
- Adanya gelombang U, QT memanjang, depresi
segmen ST, dan gelombang T memendek.
- Tekanan hemodinamika kardiak output rendah
4.
Berikan terapi sesuai indikasi, biasanya cairan isotonic dengan penambahan
potassium klorida jika serum potassium rendah. Pantau akses IV , antisipasi
peningkatan pemberian cairan jika hipertermia atau adanya infeksi.
5.
Pantau tanda-tanda vital dan
observasi kesadaran serta gejala syok
6.
Pertahankan puasa, kaji tingkat
hidrasi
7.
Pantau cairan perenteral dengan elektrolit, antibiotic, dan vitamin
8.
Kaji keadaan kulit sebagai
tanda-tanda dehidrasi, turgor kulit jelek,kulit dan membrane mukosa kering,
pucat. Kaji juga kehausan, khususnya pada lansia.
9.
Kaji dan laporkan adanya
perubahan tingkat kesadaran, kelemahan otot dan koordinasi.
10. Siapkan untuk pembedahan sesuai indikasi
11. Timbang berat badan setiap hari bila
memungkinkan
Rasional
1.
Terapi diuretik, hipertermia, pembatasan intake cairan dapat menimbulkan
kekurangan cairan. Pengukuran tiap jam dan perbandingannya dapt mendeteksi
kekurangan.
- urine output lebih dari 200ml/jam biasanya
menunjukan diabetes insipidus. Pasien dengan peningkatan TIK. Diabetes
insipidus dihasilkan dari kegagalan gland pituitary dalam mensekresi ADH karena
kerusakan hipotalamus. Seperti gangguan karena neurosurgery, tapi hal itu juga
dapat terjadi sebagai sekunder dari lesi vaskuler atau trauma kepala berat.
- Indikasi adanya deficit volume cairan
2.
Hasil laboratorium menambah keadaan objektif dari ketidakseimbangan.
Penurunan osmolalitas urine berhubungan dengan diuresis, peningkatan serum
osmolalitas, serum sodium dan hematokrit menunjukan hemokonsentrasi.
3.
Pemantauan secara periodic menunjang peringatan secepatnya apabila
terjadi kondisi yang fatal.
- Tanda ECG menunjukan penurunan
responsibilitas stimulus sel kardiak, menghasilkan hipokalemia sekunder akibat
pengeluaran potassium.
4.
Penurunan tekanan menunjukan hipovolemia dan penurunan kardiak output
menunjukan preload insuffisiensi.Cairan isotonic adalah pengganti cairan untuk
kehilangan cairan tubuh. Produk darah, koloid, atau albmin, dapat digunakan
untuk peningkatan MAP. Monitor digunakan untuk mencegah overload volume cairan.
Cairan dengan potassium harus dipantau dengan seksama karena potassium mengiritasi
vena dan infus potassium yang cepat dapat menyebabkan hiperkalemia. Hipertermia
dan infeksi terjadi akibat kehilangan cairan karena peningkatan metabolic, peningkatan
keringat dan ekskresi cairan melalui pernafasan.
5.
Takikardi dan hipotensi dapat mengindikasikan syok hipovolemi. Perubahan
ortostatik (tekanan darah menurun 10 mmhg atau lebih dan nadi meningkat 20
kali/menit atau lebih) mengindikasikan hipovolemik.
6.
Pemberian makanan dan minuman
pada pasien dapat menyebabkan muntah lebih sering dan mengakibatkan alkalosis
metabolic hipokalemia atau hiponatremia. Pemenuhan volume intravaskuler dan tambahan
oksigen mengurangi efek kehilangan darah dalam jaringan hingga perdarahan
terkontrol.
7.
Pengawasan akurat intake output menandakan keseimbangan pemberian
sehingga tidak terjadi syok hipovolemik.
8.
Turgor kulit jelek, kulit dan membrane mukosa kering, peningkatan kehausan
dapat mengindikasikan hipovolemia sehingga terjadi penurunan volume cairan
ekstraseluler.
9.
Confusion, stupor dapat menjadi indikasi hipovolemi dan ketidakseimbangan
elektrolit. Penurunan kesadaran akibat hipoksia serebral karena hipovolemia.
Kehilangan potassium dapat menyebabkan kelemahan otot.
10. Pembedahan dapat dindikasikan bila obstruksi
berkelanjutan. Persiapan pembedahan melingkupi pasien, peralatan, anastesi dan tenaga
medis.
11. Berat
badan sangat menunjukkan perubahan yang signifika ketidakseimbangan cairan.
c.
Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen
pembedahan.
Criteria hasil:
- Mempertahankan
level nyeri pada skala nyeri yang dapat ditoleransi
(skala 0-10)
-
Menunjukan rileks
-
Pasien akan menunjukan teknik relaksasi individu yang efektif dalam
mencapai
kenyamanan
-
Melaporkan keadaan fisik dan piskis sudah membaik
-
Penggunaan analgesik dan analgesik untuk menghilangkan nyeri
Intervensi
1.
Pemberian anlgesik sesuai indikasi
2.
Kaji skala nyeri atau
ketidaknyamanan dengan skala 0 – 10.
3.
Ajarkan teknik manajemen nyeri : nafas dalam, guide imagery, relaksasi,
visualisasi dan aktivitas terapeutik.
4.
Kaji secara komprehensif kondisi
nyeri termasuk lokasi karakteristik,
onset, durasi, frekuensi, kuantitas atau kualitas nyeri, dan faktor presipitasi/pencetus.
5.
Observasi secara verbal atau nonverbal ketidaknyamanan.
6.
Instruksikan pasien untuk
melaporkan nyeri bila sangat hebat
7.
Informasikan pasien prosedur yang
dapat meningkatkan nyeri tawarkan koping
adaptif.
8.
Pertahankan tirah baring dalam
posisi yang nyaman, seperti semifowler.
9.
Kaji dan ajarkan melakukan
latihan rentang gerak aktif atau pasif setiap
4 jam. Dorong ambulasi dini.
10. Ubah
posisi dengan sering dan berikan gosokan punggung dan perawatan kulit
Rasional
1.
Agen farmakologik untuk menurunkan/ menghilangkan nyeri Menurunkan laju
metabolic dan iritasi usus karena oksin sirkulasi/local, yang membantu
menghilangkan nyeri dan meningkatkan penyembuhan.
2.
Analisa secara seksama
karekteristik nyeri membatu diffirensial diagnosis nyeri. Standarisasi skala
nyeri menunjang keakuratan.
3.
Manajemen pengalihan fokus
perhatian nyeri. Pendidikan pada pasien untuk mengurangi nyeri, setiap orang
memiliki perbedaan derajat nyeri yang dirasakan.
4.
Laporan pasien merupakan
indikator terpercaya mengena eksistensi dan intensitas nyeri pada pasien
dewasa. Baru atau peningkatan nyeri memerlukan medikal evaluasi segera.
5.
Respon verbal dapat menjadi indikasi adanya dan derajat nyeri yang
dirasakan. Respon non verbal menampilkan kondisi nyeri.
6.
Partisipasi langsung dalam penanganan dan deteksi dini untuk pengelolaan
nyeri secara segera setelah dilaporkan.
7.
Tindakan persiapan kondisi pasien sebelum prosedur dan membantu mpasien
menetapkan koping sehubungan dengan kebutuhan penanganan stres akibat nyeri
8.
Membantu mengontrol nyeri dengan
mengurangi kebutuhan untuk kontraksi otot, dengan posisi semifowler mengurangi
tegangan abdomen.
9.
Menurunkan kekakuan otot atau
sendi. Ambulasi membalikkan organ keposisi normal dan meningkatkankembalinya
fungsi ketingkat normal.
10. Meningkatkan relaksasi, memfokuskan lagi
perhtian, dan meningkatkan kemampuan koping.
d.
Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan
dengan kemungkinan nekrosis.
Criteria hasil :
- Temperature tubuh normal
- Menunjukan tidak ada tanda-tanda infeksi.
Intervensi
1.
Awasi dan laporkan indikasi infeksi, yaitu : tanda-tanda
vital,temperature tubuh, bising usus, suara nafas, karakter urin, adanya abses
dalam distensi abdomen dan ikterus.
2.
Berikan antibiotic sesuai indikasi
3.
Sediakan kultur untuk dan testing
sensitivitas sesuai indikasi, lakukan sebelum terapi antibiotic.
4.
Gunakan prosedur teknik septic dan aseptic selama proses Tindakan
Rasional
1.
Pengawasan ketat dibutuhkan karena infeksi tampak tidak hanya pada peningkatan suhu dan wbc, tapi
penggunaan medikasi immunosupresi dan kondisi kronik dapat terjadi infeksi.
2.
Tipe antibiotic spectrum luas seperti sulfasalazine (azulfidine) sesuai
indikasi yang dibutuhkan.
3.
Kultur dan tes sensitivitas
menjadi tidak akurat apabila setelah pemberian
antibiotic
4.
Pasien dengan ileus obstruktif kemungkinan terjadi inflamasi.
DAFTAR PUSTAKA
Inayah, iin. 2004 .Buku
Ajar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. 202. EGC. Jakarta.
Brunner and Suddart. 2002 . Buku Ajar Keperawatan . Edisi 3. EGC. Jakarta.
Doengoes , Mailyn . E . 2000. Rencana Asuhan Keperawata. Edisi 3 . EGC . Jakarta.
Harjono . M . 2001. Ilmu
Bedah . Jakarta : Erlangga.
Corwin , Mutaqin .2003 . Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medical Bedah . Jakarta : Salemba Medica
Subiston,D.C.2001 .Buku
Ajar Bedah. Jakarta : EGC.
Wilkinson. Judith. M. 2007.Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC,
Jakarta: EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar