Senin, 30 September 2013

LP & ASKEP DIC


LAPORAN PENDAHULUAN DAN
ASUHAN KEPERAWATAN
DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)





Disusun oleh:

Lutfy Nooraini



KATA PENGANTAR

É
Segala Puji bagi Sang Kholik yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas KMB I, tanpa nikmat sehat yang diberikan oleh-Nya sekiranya penulis tidak akan mampu untuk menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, semoga atas ijin Allah SWT penulis dan teman-teman semua akan mendapatkan syafaatnya nanti.
Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada teman-teman dan kerabat semua yang turut serta dalam penulisan makalah ini, baik dari segi ide, kreatifitas, dan usaha. Tanpa ada bantuan dari teman-teman semua, mungkin penulis akan mengalami hambatan dalam penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bermanfaat untuk perbaikan makalah agar menjadi lebih bermanfaat untuk kita semua.


Penulis,






A.    Latar Belakang
DIC dapat terjadi  hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, serta usia. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan.

Koagulasi intravaskular diseminata atau lebih populer dengan istilah aslinya, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan diagnosis kompleks yang melibatkan komponen pembekuan darah akibat penyakit lain yang mendahuluinya. Keadaan ini menyebabkan perdarahan secara menyeluruh dengan koagulopati konsumtif yang parah. Banyak penyakit dengan beraneka penyebab dapat menyebabkan DIC, namun bisa dipastikan penyakit yang berakhir dengan DIC akan memiliki prognosis malam. Meski DIC merupakan keadaan yang harus dihindari, pengenalan tanda dan gejala berikut penatalaksanaannya menjadi hal mutlak yang tak hanya harus dikuasai oleh hematolog, namun hampir semua dokter dari berbagai disiplin.

DIC merupakan kelainan perdarahan yang mengancam nyawa, terutama disebabkan oleh kelainan obstetrik, keganasan metastasis, trauma masif, serta sepsis bakterial. Terjadinya DIC dipicu oleh trauma atau jaringan nekrotik yang akan melepaskan faktor-faktor pembekuan darah. Endotoksin dari bakteri gram negatif akan mengaktivasi beberapa langkah pembekuan darah. Endotoksin ini pula yang akan memicu pelepasan faktor pembekuan darah dari sel-sel mononuklear dan endotel. Sel yang teraktivasi ini akan memicu terjadinya koagulasi yang berpotensi menimbulkan trombi dan emboli pada mikrovaskular. Fase awal DIC ini akan diikuti fase consumptive coagulopathy dan secondary fibrinolysis. Pembentukan fibrin yang terus menerus disertai jumlah trombosit yang terus menurun menyebabkan perdarahan dan terjadi efek antihemostatik dari produk degradasi fibrin. Pasien akan mudah berdarah di mukosa, tempat masuk jarum suntik/infus, tempat masuk kateter, atau insisi bedah. Akan terjadi akrosianosis, trombosis, dan perubahan pre gangren pada jari, genital, dan hidung akibat turunnya pasokan darah karena vasospasme atau mikrotrombin.

B.     INSIDEN KASUS
·     Frekuensi
DIC bisa terjadi pada 30%-50% pasien dengan sepsis. Selain itu diperkirakan DIC terjadi 1% dari semua pasien yang dirawat di rumah sakit. Di Amerika Serikat kira-kira terjadi 18.000 kasus DIC pada tahun 1994.
·     Mortalitas dan Morbiditas
Mortalitas dan morbiditas tergantung dari tingkat keparahan penyakit yang diderita dan juga tingkat keparahan koagulopati. Tanda yang konkrit dan spesifik dari DIC sulit diamati, dibawah ini bebrerapa contoh tingkat kematian pada penyakit yang disertai DIC:
1.        Idiopathic purpura fulminans yang berhubungan dengan DIC mempunyai angka kematian 18%
2.        Infeksi pada aborsi yang berhubungan dengan DIC mempunyai angka kematian 50%
3.        Pada keadaan trauma, pasien dengan DIC mempunyai angka kematian 2 kali lebih tinggi daripada yang tidak berhubungn dengan DIC.
4.        Pada studi terbaru yang dilakukan oleh Japanese Association for Acute Medicine (JAAM), krietria diagnosis untuk DIC memperlihatkan bahwa pasien sepsis dengan DIC mempunyai angka kematian lebih tinggi daripada pasien trauma dengan DIC (34,7% : 10.5%)
·    Jenis Kelamin
Insiden kejadian sama antara laki-laki dan perempuan..

C.     Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dari DIC?
2.      Apa etiologi dari DIC?
3.      Bagaimana patofisiologi dari DIC?
4.      Apa manifestasi klinis dari DIC?
5.      Apa saja pemeriksaan diagnostic spesifik pada DIC?
6.      Bagaimana penatalaksanaan dari DIC?
7.      Bagaimana asuhan keperawatan dari DIC?


D.    Tujuan
1.      Tujuan umum
Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan DIC
2.      Tujuan khusus
a.      Mahasiswa mampu memahami pengertian DIC
b.      Mahasiswa mampu memahami etiologi DIC
c.       Mahasiswa mampu memahami patofisiologi DIC
d.     Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinik DIC
e.      Mahasiswa mampu memahami pemeriksaan diagnostik DIC
f.        Mahasiswa mampu memahami komplikasi DIC
g.      Mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan DIC
h.      Mahasiswa mampu memahami konsep dasar asuhan keperawatan DIC





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.                Pengertian  
Disseminated Intravascular Coagulation adalah gangguan dimana terjadi koagulasi atau fibrinolisis (destruksi bekuan). DIC dapat terjadi pada sembarang malignansi, tetapi yang paling umum berkaitan dengan malignansi hematologi seperti leukemia dan kanker prostat, traktus GI dn paru-paru. Proses penyakit tertentu yang umumnya tampak pada pasien kanker dapat juga mencetuskan DIC termasuk sepsis, gagal hepar dan anfilaksis. ( Brunner & Suddarth, 2002).
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu keadaan dimana bekuan- bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan perdarahan. (medicastore.com).
 Disseminated Intravascular Coagulation adalah suatu sindrom yang ditandai dengan adanya perdarahan/kelainan pembekuan darah yang disebabkan oleh karena terbentuknya plasmin yakni suatu spesifik plasma protein yang aktif sebagai fibrinolitik yang di dapatkan dalam sirkulasi (HealthyCau’s).
Secara umum Disseminated Intavascular Coagulation (DIG) didefinisikan sebagai kelainan atau gangguan kompleks pembekuan darah akibat stirnulasi yang berlebihan pada mekanisme prokoagulan dan anti koagulan sebagai respon terhadap jejas/injury (Yan Efrata Sembiring, Paul Tahalele)
             Kesimpulan : DIC adalah penyakit dimana faktor pembekuan dalam tubuh berkurang sehingga terbentuk bekuan-bekuan darah yang tersebar di seluruh pembuluh darah.


Keadaan ini diawali dengan pembekuan darah yang berlebihan, yang biasanya dirangsang oleh suatu zat racun di dalam darah. Pada saat yang bersamaan, terjadi pemakaian trombosit dan protein dari faktor-faktor pembekuan sehingga jumlah faktor pembekuan berkurang, maka terjadi perdarahan yang berlebihan.

B.                 Etiologi
Hal – hal yang dapat memyebabkan DIC :
1.        Fetus mati dalam kandungan
2.        Abortus
3.        Trauma Bisa ular
4.        Syok
5.        Infeksi
6.        Anoksemia
7.        Asidosis
8.        Perubahan suhu
9.        Autoimun
10.    Sirkulasi extrakorporeal
11.    Keganasan
12.    Hemolisis


Orang-orang yang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita DIC:
1.        Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan disertai komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran darah
2.        Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat yang menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan).
3.        Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung, pankreas maupun prostat.

Sedangkan orang - orang yang memiliki resiko tidak terlalu tinggi untuk menderita DIC: :
1.        Penderita cedera kepala yang hebat.
2.        Pria yang telah menjalani pembedahan prostate.
3.        Terkena gigitan ular berbisa




C.    Patofisiologi
Tubuh mempunyai berbagai mekanisme untuk mencegah pembekuan darah dengan terdapatnya kecepatan aliran darah. Selain itu, aktifitas faktor pembekuan darah bisa dibawah normal hingga tidak menyebabkan pembekuan. Peranan hati membersihkan faktor-faktor pembekuan dan mencegah pembentukkan trombin, antara lain dengan anti trombin III. Dalam beberapa keadaan, misalnya aliran darah yang lambat atau oleh karena syok, kegagalan hati, dan hipoksemia dapat menyebabkan DIC.

Dalam keadaan ini, terjadi fibrinolisis disebabkan plasminogen diubah menjadi plasmin dan terjadilah penghancuran fibrinogen. Akibatnya, faktor V dan VII yang menstabilkan darah dalam pembuluh darah tidak aktif, sehingga dapat terjadi DIC. Pada diatesis hemoragik, seluruh trombosit dan faktor koagulasi digunakan untuk bembekuan darah, sehingga tidak terdapat faktor yang mempertahankan integritas pembuluh darah sebagai akibatnya darah menembus keluar pembuluh darah.

Emboli cairan amnion yang disertai KID sering mengancam jiwa dan dapat menyebabkan kematian. Gejala KID karena emboli cairan amnion yaitu gagal nafas akut, dan renjatan. Pada sindrom mati janin dalam uterus yang lebih dari 5 minggu yang ditemukan KID pada 50% kasus. Biasanya pada permulaan hanya KID derajat rendah dan kemudian dapat berkembang cepat menjadi KID fulminan.Dalam keadaan seperti ini nekrosis jaringan janin, dan enzim jaringan nekrosis tersebut akan masuk dalam sirkulasi ibu dan mengaktifkan sistem koagulasi dan fibrinolisis,dan terjadi KID fulminan.
      Pada kehamilan dengan eklamsia ditemukan KID derajat rendah dan sering pada organ khusus seperti ginjal dan mikrosirkulasi plasenta. Namun perlu diingat bahwa 10-15% KID derajat rendah dapat berkembang menjadi KID fulminan. Abortus yang diinduksi dengan garam hipertonik juga sering disertai KID derajat rendah, sampai abortus komplet,namun kadang dapt menjadi fulminan.
Hemolisis karena reaksi transfusi darah dapat memicu sistem koagulasi sehingga terjadi KID. Akibat hemolisis,sel darah merah (SDM) melepaskan adenosine difosfat (ADP) atau membrane fosfolipid SDM yang mengaktifkan sistem koagulasi baik sendiri maupun secara bersamaan dan menyebabkan KID. Pada septikimia KID terjasi akibat endotoksin atau mantel polisakarida bakteri memulai koagulasi dengan cara mengaktifkan factor F XII menjadi FXIIa, menginduksi pelepasan reaksi trombosit,menyebabkan endotel terkelupas yang dilanjutkan aktivasi F XII men F X-Xia,dan pelepasan materi prokoagulan dari granulosit dan semuanya ini dapat mencetuskan KID. Terakhir dilaporkan bahwa organism gram positif dapat menyebabkan KID dengan mekanisme seperti endotoksin, yaitu mantel bakteri yang terdiri dari mukopolisakarida menginduksi KID


http://4.bp.blogspot.com/-1_gqRnORhmE/TpzHCEjmzwI/AAAAAAAAAEU/-gNAtnZNEEI/s1600/DIC.png


Consumptive Coagulopathy
Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat aktivasi sistem pembekuan darah secara sistemik. Trombosit yang menurun terus-menerus, komponen fibrin bebas yang terus berkurang, disertai tanda-tanda perdarahan merupakan tanda dasar yang mengarah kecurigaan ke DIC. Karena dipicu penyakit/trauma berat, akan terjadi aktivasi pembekuan darah, terbentuk fibrin dan deposisi dalam pembuluh darah, sehingga menyebabkan trombus mikrovaskular pada berbagai organ yang mengarah pada kegagalan fungsi berbagai organ. Akibat koagulasi protein dan platelet tersebut, akan terjadi komplikasi perdarahan.
Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh akan mengaktivasi sistem fibrinolitik yang menyebabkan terjadi bekuan intravaskular. Dalam sebagian kasus, terjadinya fibrinolisis (akibat pemakaian alfa2-antiplasmin) juga justru dapat menyebabkan perdarahan. Karenanya, pasien dengan DIC dapat terjadi trombosis sekaligus perdarahan dalam waktu yang bersamaan, keadaan ini cukup menyulitkan untuk dikenali dan ditatalaksana.
Pengendapan fibrin pada DIC terjadi dengan mekanisme yang cukup kompleks. Jalur utamanya terdiri dari dua macam, pertama, pembentukan trombin dengan perantara faktor pembekuan darah. Kedua, terdapat disfungsi fisiologis antikoagulan, misalnya pada sistem antitrombin dan sistem protein C, yang membuat pembentukan trombin secara terus-menerus. Sebenarnya ada juga jalur ketiga, yakni terdapat depresi sistem fibrinolitik sehingga menyebabkan gangguan fibrinolisis, akibatnya endapan fibrin menumpuk di pembuluh darah. Nah, sistem-sistem yang tidak berfungsi secara normal ini disebabkan oleh tingginya kadar inhibitor fibrinolitik PAI-1. Seperti yang tersebut di atas, pada beberapa kasus DIC dapat terjadi peningkatan aktivitas fibrinolitik yang menyebabkan perdarahan. Sepintas nampak membingungkan, namun karena penatalaksanaan DIC relatif suportif dan relatif mirip dengan model konvensional, maka tulisan ini akan membahas lebih dalam tentang patofisiologi DIC.

Depresi  Prokoagulan
DIC terjadi karena kelainan produksi faktor pembekuan darah, itulah penyebab utamanya. Karena banyak sekali kemungkinan gangguan produksi faktor pembekuan darah, banyak pula penyakit yang akhirnya dapat menyebabkan kelainan ini. Garis start jalur pembekuan darah ialah tersedianya protrombin (diproduksi di hati) kemudian diaktivasi oleh faktor-faktor pembekuan darah, sampai garis akhir terbentuknya trombin sebagai tanda telah terjadi pembekuan darah.

Pembentukan trombin dapat dideteksi saat tiga hingga lima jam setelah terjadinya bakteremia atau endotoksemia melalui mekanisme antigen-antibodi. Faktor koagulasi yang relatif mayor untuk dikenal ialah sistem VII(a) yang memulai pembentukan trombin, jalur ini dikenal dengan nama jalur ekstrinsik. Aktivasi pembekuan darah sangat dikendalikan oleh faktor-faktor itu sendiri, terutama pada jalur ekstrinsik. Jalur intrinsik tidak terlalu memegang peranan penting dalam pembentukan trombin. Faktor pembekuan darah itu sendiri berasal dari sel-sel mononuklear dan sel-sel endotelial. Sebagian penelitian juga mengungkapkan bahwa faktor ini dihasilkan juga dari sel-sel polimorfonuklear.
Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah yang mengatur aktivasi faktor-faktor pembekuan darah dapat melipatgandakan pembentukan trombin dan ikut andil dalam membentuk fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin III, terdeteksi menurun di plasma pasien DIC. Penurunan kadar ini disebabkan kombinasi dari konsumsi pada pembentukan trombin, degradasi oleh enzim elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan oleh netrofil yang teraktivasi serta sintesis yang abnormal. Besarnya kadar antitrombin III pada pasien DIC berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasien tersebut. Antitrombin III yang rendah juga diduga berperan sebagai biang keladi terjadinya DIC hingga mencapai gagal organ.

Berkaitan dengan rendahnya kadar antitrombin III, dapat pula terjadi depresi sistem protein C sebagai antikoagulasi alamiah. Kelainan jalur protein C ini disebabkan down regulation trombomodulin akibat sitokin proinflamatori dari sel-sel endotelial, misalnya tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan interleukin 1b (IL-1b). Keadaan ini dibarengi rendahnya zimogen pembentuk protein C akan menyebabkan total protein C menjadi sangat rendah, sehingga bekuan darah akan terus menumpuk. Berbagai penelitian pada hewan (tikus) telah menunjukkan bahwa protein C berperan penting dalam morbiditas dan mortalitas DIC.
Selain antitrombin III dan protein C, terdapat pula senyawa alamiah yang memang berfungsi menghambat pembentukan faktor-faktor pembekuan darah. Senyawa ini dinamakan tissue factor pathway inhibitor (TFPI). Kerja senyawa ini memblok pembentukan faktor pembekuan (bukan memblok jalur pembekuan itu sendiri), sehingga kadar senyawa ini dalam plasma sangatlah kecil, namanya pun jarang sekali kita kenal dalam buku teks. Pada penelitian dengan menambahkan TFPI rekombinan ke dalam plasma, sehingga kadar TFPI dalam tubuh jadi meningkat dari angka normal, ternyata akan menurunkan mortalitas akibat infeksi dan inflamasi sistemik. Tidak banyak pengaruh senyawa ini pada DIC, namun sebagai senyawa yang mempengaruhi faktor pembekuan darah, TFPI dapat dijadikan bahan pertimbangan terapi DIC dan kelainan koagulasi di masa depan.

D.                Defek Fibrinolisis
Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem fibrinolisis akan berhenti, karenanya endapan fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Namun pada keadaan bakteremia atau endotoksemia, sel-sel endotel akan menghasilkan Plasminogen Activator Inhibitor tipe 1 (PAI-1). Pada kasus DIC yang umum, kelainan sistem fibrinolisis alami (dengan antitrombin III, protein C, dan aktivator plasminogen) tidak berfungsi secara optimal, sehingga fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Pada beberapa kasus DIC yang jarang, misalnya DIC akibat acute myeloid leukemia M-3 (AML) atau beberapa tipe adenokasrsinoma (mis. Kanker prostat), akan terjadi hiperfibrinolisis, meskipun trombosis masih ditemukan di mana-mana serta perdarahan tetap berlangsung. Ketiga patofisiologi tersebut menyebabkan koagulasi berlebih pada pembuluh darah, trombosit akan menurun drastis dan terbentuk kompleks trombus akibat endapan fibrin yang dapat menyebabkan iskemi hingga kegagalan organ, bahkan kematian.

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis dari sindrom ini beragam dan bergantung pada system organ yang terlibat dalam thrombus/infark atau episode perdarahan. DIC kronis bisa menimbulkan sedikit gejala, seperti mudah memar, perdarahan lama dari tempat tusukan pungsi vena, perdarahan gusi, dan perdarahan gastrointestinal lambat, atau tidak ada gejala yang tidak dapat diamati.
Gejala yang sering timbul pada klien DIC adalah sebagai berikut:
1.   Perdarahan dari tempat – tempat pungsi, luka, dan membran mukosa pada klien dengan syok, komplikasi persalinan, sepsis atau kanker.
2.   Perubahan kesadaran yang mengindikasikan trombus serebrum.
3.   Distensi abdomen yang menandakan adanya perdarahan saluran cerna.
4.   Sianosis dan takipnea akibat buruknya perfusi dan oksigenasi jaringan.
5.    Hematuria akibat perdarahan atau oliguria akibat menurunnya perfusi ginjal.
6.   Trombosis dan pra gangrenosa di jari, genetalia, dan hidung


PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK SPESIFIK
            DIC adalah suatu kondisi yang sangat kompleks dan sangat sulit untuk didiagnosa. Tidak ada single test yang digunakan untuk mendiagnosa DIC. Dalam beberapa kasus, beberapa tes yang berbeda digunakan untuk diagnose yang akurat.
Tes yang dapat digunakan untul mendiagnosa DIC termasuk:
·         D-dimer
Tes darah ini membantu menentukan proses pembekuan darah dengan mengukur fibrin yang dilepaskan. D-dimer pada orang yang mempunyai kelainan biasanya lebih tinggi dibanding dengan keadaan normal.
·         Prothrimbin Time (PTT)
Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa lama waktu yang diperlukan dalam proses pembekuan darah. Sedikitnya ada belasan protein darah, atau factor pembekuan yang diperlukan untuk membekukan darah dan menghentikan pendarahan. Prothrombin atau factor II adalah salah satu dari factor pembekuan yang dihasilkan oleh hati. PTT yang memanjang dapat digunakan sebagai tanda dari DIC.

·         Fibrinogen
Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa banyak fibrinogen dalam darah. Fibrinogen adalah protein yang mempunyai peran dalam proses pemnekuan darah. Tingkant fibrinogen yang rendah dapat menjadi tanda DIC. Hal ini terjadi ketika tubuh menggunakan fibrinogen lebih cepat dari yang diproduksi.
·         Complete Blood Count (CBC)
CBC merupakan pengambilan sampel darah dan menghitung jumlah sel darah merah dan sel darah putih. Hasil pemeriksaan CBC tidak dapat digunakan untuk mendiagnosa DIC, namun dapat memberikan informasi seorang tenaga medis untuk menegakkan diagnose.
·         Hapusan Darah
Pada tes ini, tetes darah adalah di oleskan pada slide dan diwarnai dengan pewarna khusus. Slide ini kemudian diperiksa dibawah mikroskop jumlah, ukuran dan bentuk sel darah merah, sel darah putih,dan platelet dapat di identifikasi. Sel darah sering terlihat rusak dan tidak normal pada pasien dengan DIC.





Skor Tes Pembekuan
Scoring system untuk DIC diajukan oleh ISTH
(International Society on thrombosis and Hemostasis)
Skor atau Skala
0
1
2
3
Jumlah Platelet
(x109/L)
>100
<100
<50

PT (detik)
<3
>3 but <6
≥6

Fibrinogen(g/L)
>1
<1


Fibrin-related markers* (meningkat)
Tidak meningkat

Meningkat sedang
Peningkatan yang tajam
TOTAL
Jika ≥5, overt DIC- tes diulang setiap hari. Jika <5, non-overt DIC – tes diulang 1-2 hari setelah tes pertama dilakukan.
*jalan pintas dari penilaian fibrin yang berhubungan dengan penanda yang ditegakkan untuk tes spesifik.
(diadaptasi dari Franchini, et al., 2006, 6)

PENATALAKSANAAN
Penatalakasanaan KID yang utama adalah mengobati penyakit yang mendasari terjadinya KID. Jika hal ini tidak dilakukan , pengobatan terhadap KID tidak akan berhasil. Kemudian pengobatan lainnya yang bersifat suportive dapat diberikan.

Antikogulan
Secara teoritis pemberian antikoagulan heparin akan menghentikan proses pembekuan, baik yang disebabkan oleh infeksi maupun oleh penyebab lain. Meski pemberian heparin juga banyak diperdebatkan akan menimbulkan perdarahan, namun dalam penelitian klinik pada pasien KID, heparin tidak menunjukkan komplikas perdarahan yang signifikan.
Dosis heparin yang diberikan adalah 300 – 500 u/jam dalam infus kontinu.
Indikasi:
  1. Penyakit dasar tak dapat diatasi dalam waktu singkat
  2. Terjadi perdarahan meski penyakit dasar sudah diatasi
  3. Terdapat tanda-tanda trombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal, gagal hati, sindroma gagal nafas
Dosis:
100iu/kgBB bolus dilanjutkan 15-25 iu/kgBB/jam (750-1250 iu/jam) kontinu, dosis selanjutnya disesuaikan untuk mencapai aPTT 1,5-2 kali kontrol
Low molecular weight heparin dapat menggantikan unfractionated heparin.
Plasma dan trombosit
Pemberian baik plasma maupun trombosit harus bersifat selektif. Trombosit diberikan hanya kepada pasien KID dengan perdarahan atau pada prosedur invasive dengan kecenderungan perdarahan. Pemberian plasma juga patut dipertimbangkan, karena di dalam palasma hanya berisi faktor-faktor pembekuan tertentu saja, sementara pada pasien KID terjadi gangguan seluruh faktor pembekuan.
Penghambat pembekuan (AT III)
Pemberian AT III dapat bermanfaat bagi pasien KID, meski biaya pengobatan ini cukup mahal.
Direkomendasikan sebagai terapi substitusi bila AT III<70%
Dosis:
a)      n  Dosis awal 3000 iu (50 iu/kgBB) diikuti 1500 iu setiap 8 jam dengan infus kontinu selama 3 – 5 hari.
b)      n  rumus:
  1. 1 iu x BB (kg) x ∆ AT III, dengan target AT III > 120%
  2. ∆ AT III x 0,6 x BB (kg), dengan target AT III > 125%
Obat-obat antifibrinolitik
Antifibrinolitik sangat efektif pada pasien dengan perdarahan, tetapi pada pasien KID pemberian antifibrinolitik tidak dianjurkan. Karena obat ini akan menghambat proses fibrinolisis sehingga fibrin yang terbentuk akan semakin bertambah, akibatnya KID yang terjadi akan semakin berat.

Tidak ada penatalaksanaan khusus untuk DIC selain mengobati penyakit yang mendasarinya, misalnya jika karena infeksi, maka bom antibiotik diperlukan untuk fase akut, sedangkan jika karena komplikasi obstetrik, maka janin harus dilahirkan secepatnya.

Transfusi trombosit dan komponen plasma hanya diberikan jika keadaan pasien sudah sangat buruk dengan trombositopenia berat dengan perdarahan masif, memerlukan tindakan invasif, atau memiliki risiko komplikasi perdarahan. Terbatasnya syarat transfusi ini berdasarkan pemikiran bahwa menambahkan komponen darah relatif mirip menyiram bensin dalam api kebakaran, namun pendapat ini tidak terlalu kuat, mengingat akan terjadinya hiperfibrinolisis jika koagulasi sudah maksimal. Sesudah keadaan ini merupakan masa yang tepat untuk memberi trombosit dan komponen plasma, untuk memperbaiki kondisi perdarahan.

Satu-satunya terapi medikamentosa yang dipakai ialah pemberian antitrombosis, yakni heparin. Obat kuno ini tetap diberikan untuk meningkatkan aktivitas antitrombin III dan mencegah konversi fibrinogen menjadi fibrin. Obat ini tidak bisa melisis endapan koagulasi, namun hanya bisa mencegah terjadinya trombogenesis lebih lanjut. Heparin juga mampu mencegah reakumulasi clot setelah terjadi fibrinolisis spontan. Dengan dosis dewasa normal heparin drip 4-5 U/kg/jam IV infus kontinu, pemberian heparin harus dipantau minimal setiap empat jam dengan dosis yang disesuaikan. Bolus heparin 80 U tidak terlalu sering dipakai dan tidak menjadi saran khusus pada jurnal-jurnal hematologi. Namun pada keadaan akut pemberian bolus dapat menjadi pilihan yang bijak dan rasional. Apalagi ancaman DIC cukup serius, yakni menyebabkan kematian hingga dua kali lipat dari risiko penyakit tersebut tanpa DIC. Semakin parah kondisi DIC, semakin besar pula risiko kematian yang harus dihadapi.

KOMPLIKASI
ü  Syok
ü  Edema Pulmoner
ü  Gagal Ginjal Kronis
ü  Gagal Sistem Organ Besar
ü  Konvulsi
ü  Koma
ü  Hipovolemia
ü  Hipoksia
ü  Hipotensi
ü  Asidosis
ü  Perdarahan intracranial
ü  Gastrointestinal
ü  Iskemia
ü  Emboli paru
ü  Penyakit kardiovaskuler
ü  Penyakit autoimun
ü  Penyakit hati menahun













BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1.  Adanya faktor-faktor predisposisi:
·         Septicemia (penyebab paling umum)
·         Komplikasi obstetric
·         SPSD (sindrom distress pernafasan dewasa)
·         Luka bakar berat dan luas
·         Neoplasia
·         Gigitan ular
·         Penyakit hepar
·         Beda kardiopulmonal
·         Trauma

.2  Pemeriksaan fisik:
1.      Perdarahan abnormal pada semua system dan pada sisi prosedur invatif
a. kulit dan mukosa membrane
1.       Perembesan difusi darah atau plasma
2.       Purpura yang teraba pada awalnya di dada dan abdomen
3.       Bula hemoragi
4.       Hemoragi subkutan
5.       Hematoma
6.       Luka bakar karena plester sianosis akral ( estrimitas berwarna agak kebiruan, abu –abu, atau ungu gelap )
b. sistem GI
1.       Mual dan muntah
2.       Uji guayak positif pada emesis atau aspirasi
3.       Nasogastrik dan feses
4.       Nyeri hebat pada abdomen
5.       Peningkatan lingkar abdomen

c. sistem ginjal
1.       Hematuria
2.       Oliguria
d. sistem pernafasan
1.      Dispnea
2.      Takipnea
3.       Sputum mengandung darah
e. sistem kardiovaskuler
1.       Hipotensi meningkat dan postural
2.       Frekuensi jantung meningkat
3.      Nadi perifer tidak teraba
f. sistem saraf perifer
1.       Perubahan tingkat kesadaran
2.       Gelisah
3.       Ketidaksadaran vasomotor
4.       Sistem muskuloskeletal
5.       Nyeri : otot,sendi,punggung
h. Perdarahan sampai hemoragi
1.       Insisi operasi
2.       Uterus post partum
3.       Fundus mata perubahan visual
4.       Pada sisi prosedur invasif : suntikan, IV, kateter arteral dan selang nasogastrik atau dada, dll.
5.       Kerusakan perfusi jaringan
      a. Serebral : perubahan pada sensorium, gelisah, kacau mental, sakit kepala
b. Ginjal : penurunan pengeluaran urin
c. Paru : dispnea dan orthopnea
d. Kulit : akrosianosis ( ketidakteraturan bentuk bercaksianosis pada lengan perifer dan kaki )



Diagnosa Keperawatan
·         Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hemoragi sekunder.
  • Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan meningkatnya tingkat ansietas dan adanya pembekuan darah.
  • Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan
  • Defisit volume cairan yang berhubungan dengan hemoragi perebesan darah  dan tepat fungsi kongesti jaringan dan perlambatan volume darah bersirkulasi.
  • Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan keadaan syok, hemoragi, kongesti jaringan dan penurunan perfusi jaringan.
  • Ansietas berhubungan dengan rasa takut mati karena perdarahan, kehilangan beberapa aspek kemandirian karena penyakit kronis yang diderita
  • Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan minimnya informasi
  • Gangguan konsep diri berhubungan dengan kehilangan yang nyata akan yang dirasakan.

Intervensi Keperawatan
1.      Diagnosa keperawatan :
      Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hemoragi sekunder.
Hasil yang diharapkan:
a.       Menunjukan tidak ada manifestasi syok
b.      Menunjukan pasien tetap sadar dan berorientasi
c.       Menunjukan tidak ada lagi perdarahan
d.      Menunjukan nilai-nilai laboraturium normal


No
Intervensi
Rasional
1.
Pantau hasil pemeriksaan koagulasi, tanda-tanda vital, dan perubahan sisi baru dan potensial.
Untuk mengidentifikasi indikasi-indikasi kemajuan atau penyimpangan.
2.
Mulai kewaspadaan pendarahan
a.       Kewaspadaan apabila ada resiko terhadap perdarahan (jumlah trobosit kurang dari 50.000/CU mm23)
1.      Tempatkan tanda “kewaspadaan perdarahan” di atas tempat tidur klien, sehingga petugas perawatan kesehatan lainnya mengetahui adanya kewaspadaan terhadap perdarahan.
2.      Pertahanan semua sisi fungsi selama 5 menit.
3.      Pantau hasil pemeriksaan koagulasi.
4.      Berikan transfuse darah seperti yang diminta dan sesuai dengan penatalaksanaan medis.
5.      Instruksikan klien untuk menhindari aktivitas fisik berlebih.
6.      Tes gualak untuk semua feses dan muntahan terhadap darah.
7.      Inspeksi urine terhadap heaturia nyata.
8.      Periksa warna dan konsistensi feses. Feses hitam seperti menunjukkan perdarahan GIT.
9.      Inspeksi kulit, rongga oral dan konjungtiva setiap hari dan catat luasnya ptekiacdan memar bila ada.
10.  Gunakan pencukur jenggot listrik sebagai pengganti pisau cukur.
11.  Gunakan sikat gigi berbulu halus untuk menyikat gigi.
12.  Hindari pengukuran suhu rektal dan tindakan enema.
13.  Hindari aspirin dan berbagai produk yang mengandung aspirin.
14.  Instruksikan klien untuk berjalan dengan menggunakan alas kaki.
15.  Selama menstruasi, catat jumlah pembalut yang digunakan.
b.      Kewaspadaan bila ada resiko terhadap hemoragi spontan (jumlah trombosit kurang dari 20.000/CU mm23).
1.      Tempatkan tanda “kewasfdaan perdarahan” di atas tempat tidur klien, sehingga petugas perawatan kesehatan lainnya mengetahui adanya kewaspadaan terhadap perdarahan.
2.      Berikan pelunak feses (bila tes Guaiak negative).
3.      Instruksikan klien untuk menghindari meniup tau batuk keras.
4.      Pertahankan tirah baring klien untuk menghindari trauma yang tidak diinginkan.
5.      Pertahankan posisi kepala, tempat tidur ditinggikan untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan resiko terjadinya hemoragi intrakranial.
6.      Pantau tanda vital, warna kulit dan suhu, nadi pedalis, status mental, dan bunyi paru setiap 4 jam.
7.      Setiap 2-4 jam, anjurkan klien membalik badan, napas dalam dan latihan gerak perlahan.
8.      Gunakan kumur perawatan mulut, sebagai pengganti sikat gigi.
9.      Hindari penggunaan pencuci mulut komersial. Gunakan larutan salin atau campuran natrium bikarbonat dan hydrogen peroksida.
Pertahankan pelumas atau pelembab kulit dengan lotion.
Untuk meminimalkan potensial perdarahan lebih lanjut.

2.      Diagnosa keperawatan
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan meningkatnya tingkat ansietas dan adanya pembekuan darah.
Hasil yang diharapkan :
  • Kebutuhan oksigen klien terpenuhi
No.
Intervensi
Rasional
1.
Posisikan klien agar ventilasi udara efektif.
Untuk meningkatkan oksigenasi yang adekuat antara kebutuhan dan suplai.
2.
Berikan oksigen dan pantau responnya.
3.
Lakukan pengkajian pernapasan dengan sering.
4.
Kurangi kebutuhan oksigen dengan menurangi aktivitas yang berlebih.
5.
Kendalikan stimulus dari lingkungan.

3.      Diagnosa keperawatan
      Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan
      Hasil yang diharapkan :
  • Rasa nyeri yang dialami klien berkurang
No.
Intervensi
Rasional
1.
Kaji lokasi, kualitas dan intensitas nyeri, gunakan skala tingkat nyeri.
Mengetahui tingkat nyeri klien untuk mengetahui tindakan selanjutan.
2.
Baringkan klien pada posisi yang nyaman, berikan penyangga bantal untuk mencegah tekanan pada bagian-bagian tubuh tertentu.
3.
Bantu memberikan perawatan ketika klien mengalami perdarahan hebat atau rasa tidak nyaman.
4.
Pertahankan lingkungan yang nyaman.

5.

Berikan waktu istirahat yang cukup, buat jadwal aktivitas dan pemeriksaan diagnostik, bila memungkinkan, sesuaikan dengan toleransi klien.
6.
Bantu klien dengan pilihan tindakan yang nyaman seperti musik, imajinasi atau distraksi lainnya.
7.
Berikan analgesik sesuai order dokter dan kaji keefktifannya.

4.      Diagnosa keperawatan
      Defisit volume cairan yang berhubungan dengan hemoragi perebesan darah              dan tepat fungsi kongesti jaringan dan perlambatan volume darah bersirkulasi.
Kriteria Hasil
Interfensi Keperawatan
Mempertahankan status nemodinamik yang adekuat.
1.      Kaji tanda-tanda vital setiap 1 jam.
2.      Kaji dan pantau jantung terhadap frekuensi dan irama jantung.
3.      Evaluasi pengeluaran urin setiap jam (jumlah dan berat jenis).
4.      Kaji bunyi napas setiap 1 jam.
5.      Kaji kualitas dan keberadaan nadi perifer setiap 4 jam.
6.      Pertahankan masukan dan pengeluaran yang akurat.
7.      Berikan cairan IV, sesuai intruksi.
8.      Berikan produk-produk darah sesuai intruksi.
9.      Evaluasi nilai-nilai hasil laboraturium Hb, Ht, Na, K, Cl, PT, PTT, jumlah platelet produk solit fibri, fibrinogen dan masa pembekuan.
10.  Pertahankan tirah baring.

5.      Diagnosa keperawtan
      Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan keadaan syok, hemoragi, kongesti jaringan dan penurunan perfusi jaringan.




Kriteria Hasil
Interfensi Keperawatan
Kulit akan tetap utuh, tanpa ada bagian yang mengalami memar atau lecet.
1.      Kaji semua permuakaan kulit setiap 4 jam.
2.      Angkat, periksa, dan gantikan semua balutan yang menekan, setiap 4-8 jam sesuai intruksi.
3.      Atur posisi pasien setiap 2 jam.
4.      Evaluasi semua keluhan-keluhan.
5.      Periksa jumlah SDP terhadap potensi inveksi.
6.      Beri obat sesuai intruksi, untuk member rasa nyaman.
7.      Hindari fungsi berlebihan untuk keperluan pemeriksaan laboraturium, gunakan aliran arterial atau akses IV pada pembuluh besar untuk pengambilan darah.
8.      Gunakan bantalan restrain yang empuk jika diperlukan.
9.      Untuk keamanan, bantu semua gerakan untuk turun dari tempat tidur.
10.  Lakukan hygiene oral tiap 4 jam.
11.  Kaji semua orificium terhadap adanya hemoragi atau memar.

6.      Diagnosa keperawatan
      Ansietas berhubungan dengan rasa takut mati karena perdarahan, kehilangan beberapa aspek kemandirian karena penyakit kronis yang diderita
Hasil yang diharapkan :
  • Klien menunjukan rileks dan melaporkan penurunan ansietas sampai tingkat dapat ditangani.
  • Klien menyatakan kesadaran ansietas dan cara sehat menerimanya.



No.
Intervensi Keperawatan
Rasional
1.
Mandiri
Catat petunjuk perilaku, misalnya gelisah, peka rangsang, kurang kontak mata, perilaku menarik perhatian.
Indikator derajat ansietas/stress misalnya pasien merasa tidak dapat terkontrol di rmah, kerja atau masalah. Stress dapat gangguan fisik juga reaksi lain.
2.
Dorong menyatakan perasaan, beri umpan balik.
Membuat hubungan terapeutik, membantu klien mengidentifikasi penyebab stress.
3.
Akui bahwa masalah ansietas dan masalah mirip dengan diekspresikan orang lain, tingkatkan perhatian mendengarkan klien.
Validasi bahwa perasaan normal dapat membantu menurunkan stress.
4.
Berikan informasi yang adekuat dan nyata tentang apa yang akan dilakukan, misalnya tirah baring, pembatasan masukan per oral dan prosedur tindakan yang lain.
Keterlibatan klien dalam perencanaan keperawatan memberikan rasa control dan membantu menurunkan ansietas.
5.
Berikan lingkungan yang tenang untuk istirahat.
Memindahkan klien dari stress luar, meningkatkan relaksasi, dan membantu menurunkan ansietas.
6.
Dorong klien atau orang terdekat untuk menyakan perhatian.
Tindakan dukungan dapat membantu klien untuk meringankan energi untuk dituangkan pada penyembuhan.
7.
Bantu klien untuk mengidentifikasi perilaku koping yang dilakukan pada masa lalu.
Perilaku yang berhasil dapat dikuatkan pada penerimaan masalah atau stress saat ini, meningkatkan rasa kontrol diri klien.
8.
Bantu klien belajar mekanisme koping paru, misalnya teknik mengatasi stress dan keterampilan berorganisasi.
Belajar cara untuk mengatasi masalah dapat membantu dalam menurunkan stress, meningkatkan kontrol penyakit. 
9.
Kolaborasi
Berikan obat sesuai indikasi sedatif, misalnya barbiturat, agen antiansientas dan diazepam.

Dapat digunakan untuk menurunkan ansietas dan memudahkan istirahat.
10.
Rujuk pada perawat spesialis, pelayanan sosial atau penaasehat agama.
Dibutuhkan bantuan untuk meningkatkan kontrol dan eksaserbasi.

7.      Diagnosa keperawatan
Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan minimnya informasi
Hasil yang diharapkan “
  • Ekspresi wajah klien menunjukan rileks, perasaan gugup dan cemas berkurang.
  • Menunjukan pemahaman tentang tentang rencana terapeutik.
No.
Intervensi Keperawatan
Rasional
1.
Gunakan pendekatan yang tenang dan dapat menenangkan klien sewktu memberi informasi. Beri dorongan untuk bertanya.
Penjelasan yang jelas dan sederhana dan menggunakan istilah-istilah non-medis atau umum dapat mengurangi tingkat kecemasan dan rasa bingung klien. Rasa ansietas tersebut dapat mengganggu kegiatan belajar dari persepsi klien.
2.
Jelaskan mengenai gambaran singkat tes, tujuan tes, persiapan tes, dan perawatan setelah tes.
Penjelasan tentang apa yang diharapkan membantu mengurangi ansietas.




8.      Diagnosa keperawatan
Gangguan konsep diri berhubungan dengan kehilangan yang nyata akan yang dirasakan
Hasil yang diharapkan :
  • Peningkatan partisipasi klien dalam perawtan dirinya.
  • Perubahan gaya hidup.
No.
Intervensi Keperwatan
Rasional
1.
Biarkan klien dan oreng terdekat mengungkapkan perasaannya.
Mempermudah penyelesaian masalah dan memungkinkan perawat mengidentifikasi fase kesedihan klien.
2.
Hindari pemberian informasi yang bertubi-tubi selama fase awal proses berduka. Jawab pertanyaan khusus. Masukan informasi saat klien menunjukan kesiapan mempelajari perawatan diri.
Interaksi terapi dapat membantu perubahan individu untuk menerima informasi berlebihan.
3.
Beri nomor telepon orang yang bias dimintai dukungan oleh klien dan kleuarga saat pulang. Ingatkan klien untuk melihat dirinya dengan pandangan yang berbeda. Katakana pada klien bahwa ia harus menerima keadaannya sekarang.
Sistem pendukung kuat dapat seperti keluarga penting untuk kemajuan klien dalam proses berduka.
4.
Berikan penghargaan untuk mengekspresikan perasaan. Arahkan klien pada kelompok pendukung komunitas sesuai indikasi.
Dukungan komunitas penting untuk meningkatkan kemajuan ke atah penerimaan.
5.
Pertahankan keluarga mendapatkan informasi tentang kemajuan klien. Libatkan keluarga secara sering dalam perawatan klien.
Membantu klien menyatukan kembali citra tubuh yang baru.
6.
Bila memungkinkan, biarkan klien untuk menentukan pilihan dalam penawaran diri atau perawatan higiene rutin.
Meningkatkan kontrol diri.
7.
Bantu klien memandang penyakit kronis atau perubahan citra tubuh sebagai tantangan untuk pertumbuhan daripada situasi yang tidak mungkin. Gunakan istilah tantangan pertumbuhan sebagai ganti kecacatan. Bila ada penyakit terminal,tekankan bahwa penelitian untuk pengobatan masih terus berlanjut dan hindari janji palsu.
Janji palsu menghambat kebutuhan individu untuk mengungkapkan perasaan.
8.
Lakukan rujukan psikiatrik sesuai peklaksanaan bila perlu.
Bantuan profesional mungkin perlu untuk membantu klien yang maladaptive, misalnya menyangkal jangka panjang, menarik diri dari sosial dan regresi.
Diagnosa banding yang harus diperhatikan :
      Kekurangan vitamin K
      Fibrinolisis sekunder
      Hemofili

















 EVALUASI
          Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan dengan terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan anggota im kesehatan lainnya
          Tujuan evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapi dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang.
Kriteria dalam menentukan tercapainya suatu tujuan, pasien:
·         Tidak ada manifestasi syok
·         Pasien tetap sadar dan berorirentasi
·         Tidak ada lagi perdarahan
·         Nilai-nilai laboraturium normal
·         Klien tidak merasa sesak lagi
·         Klien mengatakan rasa nyerinya berkurang
·         Kebutuhan volume cairan terpenuhi
·         Integritas kulit terjaga
·         Klien menunjukan rileks dan melaporkan penurunan ansietas sampai tingkat dapat ditangani.
·         Klien menyatakan kesadaran ansietas dan cara sehat menerimanya.
·         Ekspresi wajah klien menunjukan rileks, perasaan gugup dan cemas berkurang.
·         Menunjukan pemahaman tentang tentang rencana terapeutik.
·         Klien ikut berpartisipasi dalam perawatan dirinya.
·         Gaya hidup klien berubah.





BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
            DIC adalah suatu sindrom ditandai dengan adanya perdarahan atau kelainan pembekuan darah sehingga terjadi gangguan aliran darah yang menyebabkan kerusakan pada berbagai organ. Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan  salah satunya adalah resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hemoragi sekunder. Dari diagnose tersebut, intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah memantau hasil pemeriksaan koagulasi, tanda-tanda vital, dan perubahan sisi baru dan potensial.
Saran
Setelah membaca makalah ini, diharapkan mahasiswa dapat mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan DIC dengan tepat sehingga dapat mencegah terjadinya kegawatdaruratan dan komplikasi yang tidak diinginkan.



Daftar Pustaka
Bare, Brenda G dan Smelttzer, Susanne G. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC2.      
Stitham,Sean.2008. Disseminated Intravascular Coagulation
 http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/healthtopics.html.Diakses tanggal 26 September 10.00 WIB3.
Gando S. A multicenter, prospective validation of disseminated intravascular coagulation diagnostic criteria for critically ill patients: comparing current criteria. Crit Care Med. 2006     
 Farid. 2007. Ancaman Serius Koagulasi Intravaskuler Diseminasi.http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp. Diakses tanggal 27 September 2009 pukul 17.50 WIB




Tidak ada komentar:

Posting Komentar