LAPORAN
PENDAHULUAN DAN
ASUHAN
KEPERAWATAN
DIC (Disseminated
Intravascular Coagulation)
Disusun
oleh:
Lutfy Nooraini
KATA PENGANTAR
É
Segala Puji bagi Sang Kholik yang telah
memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas KMB
I, tanpa nikmat sehat yang diberikan oleh-Nya sekiranya penulis tidak akan
mampu untuk menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW, semoga atas ijin Allah SWT penulis dan teman-teman
semua akan mendapatkan syafaatnya nanti.
Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih
kepada teman-teman dan kerabat semua yang turut serta dalam penulisan makalah
ini, baik dari segi ide, kreatifitas, dan usaha. Tanpa ada bantuan dari
teman-teman semua, mungkin penulis akan mengalami hambatan dalam penulisan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini
terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bermanfaat untuk perbaikan makalah agar menjadi lebih
bermanfaat untuk kita semua.
Penulis,
A.
Latar Belakang
DIC dapat terjadi hampir pada semua
orang tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, serta usia. Gejala-gejala DIC umumnya
sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan
akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan.
Koagulasi intravaskular diseminata atau
lebih populer dengan istilah aslinya, Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC) merupakan diagnosis kompleks yang melibatkan komponen pembekuan darah
akibat penyakit lain yang mendahuluinya. Keadaan ini menyebabkan perdarahan
secara menyeluruh dengan koagulopati konsumtif yang parah. Banyak penyakit
dengan beraneka penyebab dapat menyebabkan DIC, namun bisa dipastikan penyakit
yang berakhir dengan DIC akan memiliki prognosis malam. Meski DIC merupakan
keadaan yang harus dihindari, pengenalan tanda dan gejala berikut
penatalaksanaannya menjadi hal mutlak yang tak hanya harus dikuasai oleh
hematolog, namun hampir semua dokter dari berbagai disiplin.
DIC merupakan kelainan perdarahan yang
mengancam nyawa, terutama disebabkan oleh kelainan obstetrik, keganasan metastasis,
trauma masif, serta sepsis bakterial. Terjadinya DIC dipicu oleh trauma atau
jaringan nekrotik yang akan melepaskan faktor-faktor pembekuan darah.
Endotoksin dari bakteri gram negatif akan mengaktivasi beberapa langkah
pembekuan darah. Endotoksin ini pula yang akan memicu pelepasan faktor
pembekuan darah dari sel-sel mononuklear dan endotel. Sel yang teraktivasi ini
akan memicu terjadinya koagulasi yang berpotensi menimbulkan trombi dan emboli
pada mikrovaskular. Fase awal DIC ini akan diikuti fase consumptive
coagulopathy dan secondary fibrinolysis. Pembentukan fibrin yang terus menerus
disertai jumlah trombosit yang terus menurun menyebabkan perdarahan dan terjadi
efek antihemostatik dari produk degradasi fibrin. Pasien akan mudah berdarah di
mukosa, tempat masuk jarum suntik/infus, tempat masuk kateter, atau insisi
bedah. Akan terjadi akrosianosis, trombosis, dan perubahan pre gangren pada
jari, genital, dan hidung akibat turunnya pasokan darah karena vasospasme atau
mikrotrombin.
B.
INSIDEN KASUS
· Frekuensi
DIC bisa terjadi pada 30%-50%
pasien dengan sepsis. Selain itu diperkirakan DIC terjadi 1% dari semua pasien
yang dirawat di rumah sakit. Di Amerika
Serikat kira-kira terjadi 18.000 kasus DIC pada tahun 1994.
· Mortalitas
dan Morbiditas
Mortalitas dan morbiditas
tergantung dari tingkat keparahan penyakit yang diderita dan juga tingkat
keparahan koagulopati. Tanda yang konkrit dan spesifik dari DIC sulit diamati,
dibawah ini bebrerapa contoh tingkat kematian pada penyakit yang disertai DIC:
1.
Idiopathic purpura fulminans yang berhubungan dengan DIC
mempunyai angka kematian 18%
2.
Infeksi pada aborsi yang berhubungan dengan DIC mempunyai angka
kematian 50%
3.
Pada keadaan trauma, pasien dengan DIC mempunyai angka kematian
2 kali lebih tinggi daripada yang tidak berhubungn dengan DIC.
4.
Pada studi terbaru yang dilakukan oleh Japanese Association for
Acute Medicine (JAAM), krietria diagnosis untuk DIC memperlihatkan bahwa pasien
sepsis dengan DIC mempunyai angka kematian lebih tinggi daripada pasien trauma
dengan DIC (34,7% : 10.5%)
· Jenis
Kelamin
Insiden kejadian sama antara laki-laki dan
perempuan..
C.
Rumusan Masalah
1.
Apa definisi dari DIC?
2.
Apa etiologi dari DIC?
3.
Bagaimana patofisiologi dari DIC?
4.
Apa manifestasi klinis dari DIC?
5.
Apa saja pemeriksaan diagnostic spesifik pada DIC?
6.
Bagaimana penatalaksanaan dari DIC?
7.
Bagaimana asuhan keperawatan dari DIC?
D.
Tujuan
1. Tujuan
umum
Mahasiswa dapat memahami asuhan
keperawatan pada pasien dengan DIC
2. Tujuan
khusus
a. Mahasiswa
mampu memahami pengertian DIC
b. Mahasiswa
mampu memahami etiologi DIC
c. Mahasiswa
mampu memahami patofisiologi DIC
d. Mahasiswa
mampu memahami manifestasi klinik DIC
e. Mahasiswa
mampu memahami pemeriksaan diagnostik DIC
f.
Mahasiswa mampu memahami komplikasi DIC
g. Mahasiswa
mampu memahami penatalaksanaan DIC
h. Mahasiswa
mampu memahami konsep dasar asuhan keperawatan DIC
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian
Disseminated Intravascular Coagulation
adalah gangguan dimana terjadi koagulasi atau fibrinolisis (destruksi bekuan).
DIC dapat terjadi pada sembarang malignansi, tetapi yang paling umum berkaitan
dengan malignansi hematologi seperti leukemia dan kanker prostat, traktus GI dn
paru-paru. Proses penyakit tertentu yang umumnya tampak pada pasien kanker
dapat juga mencetuskan DIC termasuk sepsis, gagal hepar dan anfilaksis. ( Brunner & Suddarth, 2002).
Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC) adalah suatu keadaan dimana bekuan- bekuan darah kecil
tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah
kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan
perdarahan. (medicastore.com).
Disseminated Intravascular Coagulation adalah suatu sindrom yang ditandai
dengan adanya perdarahan/kelainan pembekuan darah yang disebabkan oleh karena
terbentuknya plasmin yakni suatu spesifik plasma protein yang aktif sebagai
fibrinolitik yang di dapatkan dalam sirkulasi (HealthyCau’s).
Secara umum Disseminated Intavascular Coagulation (DIG)
didefinisikan sebagai kelainan atau gangguan kompleks pembekuan darah akibat
stirnulasi yang berlebihan pada mekanisme prokoagulan dan anti koagulan sebagai
respon terhadap jejas/injury (Yan Efrata
Sembiring, Paul Tahalele)
Kesimpulan : DIC adalah penyakit dimana faktor
pembekuan dalam tubuh berkurang sehingga terbentuk bekuan-bekuan darah yang
tersebar di seluruh pembuluh darah.
Keadaan ini diawali dengan pembekuan darah
yang berlebihan, yang biasanya dirangsang oleh suatu zat racun di dalam darah.
Pada saat yang bersamaan, terjadi pemakaian trombosit dan protein dari
faktor-faktor pembekuan sehingga jumlah faktor pembekuan berkurang, maka
terjadi perdarahan yang berlebihan.
B.
Etiologi
Hal – hal yang dapat memyebabkan DIC :
1.
Fetus mati dalam kandungan
2.
Abortus
3.
Trauma Bisa ular
4.
Syok
5.
Infeksi
6.
Anoksemia
7.
Asidosis
8.
Perubahan suhu
9.
Autoimun
10.
Sirkulasi extrakorporeal
11.
Keganasan
12.
Hemolisis
Orang-orang yang memiliki resiko paling
tinggi untuk menderita DIC:
1.
Wanita yang telah menjalani pembedahan
kandungan atau persalinan disertai komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke
dalam aliran darah
2.
Penderita infeksi berat, dimana bakteri
melepaskan endotoksin (suatu zat yang menyebabkan terjadinya aktivasi
pembekuan).
3.
Penderita leukemia tertentu atau penderita
kanker lambung, pankreas maupun prostat.
Sedangkan orang - orang yang memiliki
resiko tidak terlalu tinggi untuk menderita DIC: :
1.
Penderita cedera kepala yang hebat.
2.
Pria yang telah menjalani pembedahan
prostate.
3.
Terkena gigitan ular berbisa
C.
Patofisiologi
Tubuh mempunyai berbagai
mekanisme untuk mencegah pembekuan darah dengan terdapatnya kecepatan aliran
darah. Selain itu, aktifitas faktor pembekuan darah bisa dibawah normal hingga
tidak menyebabkan pembekuan. Peranan hati membersihkan faktor-faktor pembekuan
dan mencegah pembentukkan trombin, antara lain dengan anti trombin III. Dalam
beberapa keadaan, misalnya aliran darah yang lambat atau oleh karena syok,
kegagalan hati, dan hipoksemia dapat menyebabkan DIC.
Dalam keadaan ini,
terjadi fibrinolisis disebabkan plasminogen diubah menjadi plasmin dan
terjadilah penghancuran fibrinogen. Akibatnya, faktor V dan VII yang
menstabilkan darah dalam pembuluh darah tidak aktif, sehingga dapat terjadi
DIC. Pada diatesis hemoragik, seluruh trombosit dan faktor koagulasi digunakan
untuk bembekuan darah, sehingga tidak terdapat faktor yang mempertahankan
integritas pembuluh darah sebagai akibatnya darah menembus keluar pembuluh
darah.
Emboli cairan amnion yang disertai KID sering mengancam
jiwa dan dapat menyebabkan kematian. Gejala KID karena emboli cairan amnion
yaitu gagal nafas akut, dan renjatan. Pada sindrom mati janin dalam uterus yang
lebih dari 5 minggu yang ditemukan KID pada 50% kasus. Biasanya pada permulaan
hanya KID derajat rendah dan kemudian dapat berkembang cepat menjadi KID
fulminan.Dalam keadaan seperti ini nekrosis jaringan janin, dan enzim jaringan
nekrosis tersebut akan masuk dalam sirkulasi ibu dan mengaktifkan sistem
koagulasi dan fibrinolisis,dan terjadi KID fulminan.
Pada kehamilan dengan eklamsia ditemukan KID derajat rendah dan sering pada organ khusus seperti ginjal dan mikrosirkulasi plasenta. Namun perlu diingat bahwa 10-15% KID derajat rendah dapat berkembang menjadi KID fulminan. Abortus yang diinduksi dengan garam hipertonik juga sering disertai KID derajat rendah, sampai abortus komplet,namun kadang dapt menjadi fulminan.
Pada kehamilan dengan eklamsia ditemukan KID derajat rendah dan sering pada organ khusus seperti ginjal dan mikrosirkulasi plasenta. Namun perlu diingat bahwa 10-15% KID derajat rendah dapat berkembang menjadi KID fulminan. Abortus yang diinduksi dengan garam hipertonik juga sering disertai KID derajat rendah, sampai abortus komplet,namun kadang dapt menjadi fulminan.
Hemolisis karena reaksi transfusi darah dapat memicu
sistem koagulasi sehingga terjadi KID. Akibat hemolisis,sel darah merah (SDM)
melepaskan adenosine difosfat (ADP) atau membrane fosfolipid SDM yang
mengaktifkan sistem koagulasi baik sendiri maupun secara bersamaan dan
menyebabkan KID. Pada septikimia KID terjasi akibat endotoksin atau mantel polisakarida
bakteri memulai koagulasi dengan cara mengaktifkan factor F XII menjadi FXIIa,
menginduksi pelepasan reaksi trombosit,menyebabkan endotel terkelupas yang
dilanjutkan aktivasi F XII men F X-Xia,dan pelepasan materi prokoagulan dari
granulosit dan semuanya ini dapat mencetuskan KID. Terakhir dilaporkan bahwa
organism gram positif dapat menyebabkan KID dengan mekanisme seperti
endotoksin, yaitu mantel bakteri yang terdiri dari mukopolisakarida menginduksi
KID
Consumptive Coagulopathy
Pada prinsipnya DIC dapat
dikenali jika terdapat aktivasi sistem pembekuan darah secara sistemik.
Trombosit yang menurun terus-menerus, komponen fibrin bebas yang terus
berkurang, disertai tanda-tanda perdarahan merupakan tanda dasar yang mengarah
kecurigaan ke DIC. Karena dipicu penyakit/trauma berat, akan terjadi aktivasi
pembekuan darah, terbentuk fibrin dan deposisi dalam pembuluh darah, sehingga
menyebabkan trombus mikrovaskular pada berbagai organ yang mengarah pada
kegagalan fungsi berbagai organ. Akibat koagulasi protein dan platelet
tersebut, akan terjadi komplikasi perdarahan.
Karena terdapat deposisi fibrin,
secara otomatis tubuh akan mengaktivasi sistem fibrinolitik yang menyebabkan
terjadi bekuan intravaskular. Dalam sebagian kasus, terjadinya fibrinolisis (akibat
pemakaian alfa2-antiplasmin) juga justru dapat menyebabkan perdarahan.
Karenanya, pasien dengan DIC dapat terjadi trombosis sekaligus perdarahan dalam
waktu yang bersamaan, keadaan ini cukup menyulitkan untuk dikenali dan
ditatalaksana.
Pengendapan fibrin pada DIC
terjadi dengan mekanisme yang cukup kompleks. Jalur utamanya terdiri dari dua
macam, pertama, pembentukan trombin dengan perantara faktor pembekuan darah.
Kedua, terdapat disfungsi fisiologis antikoagulan, misalnya pada sistem
antitrombin dan sistem protein C, yang membuat pembentukan trombin secara
terus-menerus. Sebenarnya ada juga jalur ketiga, yakni terdapat depresi sistem
fibrinolitik sehingga menyebabkan gangguan fibrinolisis, akibatnya endapan
fibrin menumpuk di pembuluh darah. Nah, sistem-sistem yang tidak berfungsi
secara normal ini disebabkan oleh tingginya kadar inhibitor fibrinolitik PAI-1.
Seperti yang tersebut di atas, pada beberapa kasus DIC dapat terjadi
peningkatan aktivitas fibrinolitik yang menyebabkan perdarahan. Sepintas nampak
membingungkan, namun karena penatalaksanaan DIC relatif suportif dan relatif
mirip dengan model konvensional, maka tulisan ini akan membahas lebih dalam
tentang patofisiologi DIC.
Depresi Prokoagulan
DIC terjadi karena kelainan
produksi faktor pembekuan darah, itulah penyebab utamanya. Karena banyak sekali
kemungkinan gangguan produksi faktor pembekuan darah, banyak pula penyakit yang
akhirnya dapat menyebabkan kelainan ini. Garis start jalur pembekuan darah
ialah tersedianya protrombin (diproduksi di hati) kemudian diaktivasi oleh
faktor-faktor pembekuan darah, sampai garis akhir terbentuknya trombin sebagai
tanda telah terjadi pembekuan darah.
Pembentukan trombin dapat
dideteksi saat tiga hingga lima jam setelah terjadinya bakteremia
atau endotoksemia melalui mekanisme antigen-antibodi. Faktor koagulasi yang
relatif mayor untuk dikenal ialah sistem VII(a) yang memulai pembentukan
trombin, jalur ini dikenal dengan nama jalur ekstrinsik. Aktivasi pembekuan
darah sangat dikendalikan oleh faktor-faktor itu sendiri, terutama pada jalur
ekstrinsik. Jalur intrinsik tidak terlalu memegang peranan penting dalam
pembentukan trombin. Faktor pembekuan darah itu sendiri berasal dari sel-sel
mononuklear dan sel-sel endotelial. Sebagian penelitian juga mengungkapkan
bahwa faktor ini dihasilkan juga dari sel-sel polimorfonuklear.
Kelainan fungsi jalur-jalur alami
pembekuan darah yang mengatur aktivasi faktor-faktor pembekuan darah dapat
melipatgandakan pembentukan trombin dan ikut andil dalam membentuk fibrin. Kadar
inhibitor trombin, antitrombin III, terdeteksi menurun di plasma pasien DIC.
Penurunan kadar ini disebabkan kombinasi dari konsumsi pada pembentukan
trombin, degradasi oleh enzim elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan oleh
netrofil yang teraktivasi serta sintesis yang abnormal. Besarnya kadar
antitrombin III pada pasien DIC berhubungan dengan peningkatan mortalitas
pasien tersebut. Antitrombin III yang rendah juga diduga berperan sebagai biang
keladi terjadinya DIC hingga mencapai gagal organ.
Berkaitan dengan rendahnya kadar
antitrombin III, dapat pula terjadi depresi sistem protein C sebagai
antikoagulasi alamiah. Kelainan jalur protein C ini disebabkan down regulation
trombomodulin akibat sitokin proinflamatori dari sel-sel endotelial, misalnya
tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan interleukin 1b (IL-1b). Keadaan ini
dibarengi rendahnya zimogen pembentuk protein C akan menyebabkan total protein
C menjadi sangat rendah, sehingga bekuan darah akan terus menumpuk. Berbagai
penelitian pada hewan (tikus) telah menunjukkan bahwa protein C berperan
penting dalam morbiditas dan mortalitas DIC.
Selain antitrombin III dan protein C,
terdapat pula senyawa alamiah yang memang berfungsi menghambat pembentukan
faktor-faktor pembekuan darah. Senyawa ini dinamakan tissue factor pathway
inhibitor (TFPI). Kerja senyawa ini memblok pembentukan faktor pembekuan (bukan
memblok jalur pembekuan itu sendiri), sehingga kadar senyawa ini dalam plasma
sangatlah kecil, namanya pun jarang sekali kita kenal dalam buku teks. Pada
penelitian dengan menambahkan TFPI rekombinan ke dalam plasma, sehingga kadar
TFPI dalam tubuh jadi meningkat dari angka normal, ternyata akan menurunkan
mortalitas akibat infeksi dan inflamasi sistemik. Tidak banyak pengaruh senyawa
ini pada DIC, namun sebagai senyawa yang mempengaruhi faktor pembekuan darah,
TFPI dapat dijadikan bahan pertimbangan terapi DIC dan kelainan koagulasi di
masa depan.
D.
Defek
Fibrinolisis
Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal,
saat itu sistem fibrinolisis akan berhenti, karenanya endapan fibrin akan terus
menumpuk di pembuluh darah. Namun pada keadaan bakteremia atau endotoksemia,
sel-sel endotel akan menghasilkan Plasminogen Activator Inhibitor tipe 1
(PAI-1). Pada kasus DIC yang umum, kelainan sistem fibrinolisis alami (dengan
antitrombin III, protein C, dan aktivator plasminogen) tidak berfungsi secara
optimal, sehingga fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Pada beberapa
kasus DIC yang jarang, misalnya DIC akibat acute myeloid leukemia M-3 (AML)
atau beberapa tipe adenokasrsinoma (mis. Kanker prostat), akan terjadi
hiperfibrinolisis, meskipun trombosis masih ditemukan di mana-mana serta
perdarahan tetap berlangsung. Ketiga patofisiologi tersebut menyebabkan
koagulasi berlebih pada pembuluh darah, trombosit akan menurun drastis dan
terbentuk kompleks trombus akibat endapan fibrin yang dapat menyebabkan iskemi
hingga kegagalan organ, bahkan kematian.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis dari sindrom ini beragam
dan bergantung pada system organ yang terlibat dalam thrombus/infark atau
episode perdarahan. DIC kronis bisa menimbulkan sedikit gejala, seperti mudah
memar, perdarahan lama dari tempat tusukan pungsi vena, perdarahan gusi, dan
perdarahan gastrointestinal lambat, atau tidak ada gejala yang tidak dapat
diamati.
Gejala yang sering timbul pada klien
DIC adalah sebagai berikut:
1. Perdarahan dari tempat – tempat pungsi, luka, dan
membran mukosa pada klien dengan syok, komplikasi persalinan, sepsis atau
kanker.
2. Perubahan kesadaran yang mengindikasikan trombus
serebrum.
3. Distensi abdomen yang menandakan adanya perdarahan
saluran cerna.
4. Sianosis dan takipnea akibat buruknya perfusi dan
oksigenasi jaringan.
5. Hematuria akibat perdarahan atau oliguria akibat
menurunnya perfusi ginjal.
6. Trombosis dan pra gangrenosa di jari, genetalia, dan
hidung
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK SPESIFIK
DIC adalah suatu kondisi yang sangat kompleks dan sangat sulit untuk
didiagnosa. Tidak ada single test yang digunakan untuk mendiagnosa DIC. Dalam beberapa kasus,
beberapa tes yang berbeda digunakan untuk diagnose yang akurat.
Tes yang dapat digunakan untul mendiagnosa
DIC termasuk:
· D-dimer
Tes darah ini membantu menentukan proses pembekuan darah dengan
mengukur fibrin yang dilepaskan. D-dimer pada orang yang mempunyai kelainan
biasanya lebih tinggi dibanding dengan keadaan normal.
· Prothrimbin
Time (PTT)
Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa lama waktu yang
diperlukan dalam proses pembekuan darah. Sedikitnya ada belasan protein darah,
atau factor pembekuan yang diperlukan untuk membekukan darah dan menghentikan
pendarahan. Prothrombin atau factor II adalah salah satu dari factor pembekuan
yang dihasilkan oleh hati. PTT yang memanjang dapat digunakan sebagai tanda
dari DIC.
· Fibrinogen
Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa banyak fibrinogen
dalam darah. Fibrinogen adalah protein yang mempunyai peran dalam proses
pemnekuan darah. Tingkant fibrinogen yang rendah dapat menjadi tanda DIC. Hal
ini terjadi ketika tubuh menggunakan fibrinogen lebih cepat dari yang
diproduksi.
· Complete
Blood Count (CBC)
CBC merupakan pengambilan sampel darah dan menghitung jumlah sel
darah merah dan sel darah putih. Hasil pemeriksaan CBC tidak dapat digunakan
untuk mendiagnosa DIC, namun dapat memberikan informasi seorang tenaga medis
untuk menegakkan diagnose.
· Hapusan
Darah
Pada tes ini, tetes darah adalah di oleskan pada slide dan
diwarnai dengan pewarna khusus. Slide ini kemudian diperiksa dibawah mikroskop
jumlah, ukuran dan bentuk sel darah merah, sel darah putih,dan platelet dapat
di identifikasi. Sel darah sering terlihat rusak dan tidak normal pada pasien
dengan DIC.
Skor Tes Pembekuan
Scoring system untuk DIC diajukan oleh ISTH
(International Society on thrombosis and Hemostasis)
|
||||
Skor atau Skala
|
0
|
1
|
2
|
3
|
Jumlah Platelet
(x109/L)
|
>100
|
<100
|
<50
|
|
PT (detik)
|
<3
|
>3 but <6
|
≥6
|
|
Fibrinogen(g/L)
|
>1
|
<1
|
||
Fibrin-related markers* (meningkat)
|
Tidak meningkat
|
Meningkat sedang
|
Peningkatan yang tajam
|
|
TOTAL
|
Jika ≥5, overt DIC- tes diulang setiap hari. Jika <5, non-overt DIC – tes
diulang 1-2 hari setelah tes pertama dilakukan.
|
|||
*jalan pintas dari penilaian fibrin
yang berhubungan dengan penanda yang ditegakkan untuk tes spesifik.
|
||||
(diadaptasi dari Franchini, et al., 2006,
6)
|
PENATALAKSANAAN
Penatalakasanaan KID yang utama adalah
mengobati penyakit yang mendasari terjadinya KID. Jika hal ini tidak dilakukan
, pengobatan terhadap KID tidak akan berhasil. Kemudian pengobatan lainnya yang bersifat suportive dapat
diberikan.
Antikogulan
Secara teoritis pemberian
antikoagulan heparin akan menghentikan proses pembekuan, baik yang disebabkan
oleh infeksi maupun oleh penyebab lain. Meski pemberian heparin juga banyak
diperdebatkan akan menimbulkan perdarahan, namun dalam penelitian klinik pada
pasien KID, heparin tidak menunjukkan komplikas perdarahan yang signifikan.
Dosis heparin yang diberikan adalah 300 – 500 u/jam dalam infus
kontinu.
Indikasi:
- Penyakit dasar tak dapat diatasi dalam waktu singkat
- Terjadi perdarahan meski penyakit dasar sudah diatasi
- Terdapat tanda-tanda trombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal, gagal hati, sindroma gagal nafas
Dosis:
100iu/kgBB bolus dilanjutkan
15-25 iu/kgBB/jam (750-1250 iu/jam) kontinu, dosis selanjutnya disesuaikan
untuk mencapai aPTT 1,5-2 kali kontrol
Low molecular weight heparin dapat menggantikan unfractionated heparin.
Plasma dan trombosit
Pemberian baik plasma maupun
trombosit harus bersifat selektif. Trombosit diberikan hanya kepada pasien KID
dengan perdarahan atau pada prosedur invasive dengan kecenderungan perdarahan.
Pemberian plasma juga patut dipertimbangkan, karena di dalam palasma hanya
berisi faktor-faktor pembekuan tertentu saja, sementara pada pasien KID terjadi
gangguan seluruh faktor pembekuan.
Penghambat pembekuan (AT III)
Pemberian AT III dapat bermanfaat
bagi pasien KID, meski biaya pengobatan ini cukup mahal.
Direkomendasikan sebagai terapi substitusi
bila AT III<70%
Dosis:
a)
n Dosis awal 3000 iu (50 iu/kgBB) diikuti 1500 iu
setiap 8 jam dengan infus kontinu selama 3 – 5 hari.
b)
n rumus:
- 1 iu x BB (kg) x ∆ AT III, dengan target AT III > 120%
- ∆ AT III x 0,6 x BB (kg), dengan target AT III > 125%
Obat-obat antifibrinolitik
Antifibrinolitik sangat efektif
pada pasien dengan perdarahan, tetapi pada pasien KID pemberian
antifibrinolitik tidak dianjurkan. Karena obat ini akan menghambat proses
fibrinolisis sehingga fibrin yang terbentuk akan semakin bertambah, akibatnya
KID yang terjadi akan semakin berat.
Tidak ada penatalaksanaan khusus
untuk DIC selain mengobati penyakit yang mendasarinya, misalnya jika karena
infeksi, maka bom antibiotik diperlukan untuk fase akut, sedangkan jika karena
komplikasi obstetrik, maka janin harus dilahirkan secepatnya.
Transfusi trombosit dan komponen
plasma hanya diberikan jika keadaan pasien sudah sangat buruk dengan
trombositopenia berat dengan perdarahan masif, memerlukan tindakan invasif,
atau memiliki risiko komplikasi perdarahan. Terbatasnya syarat transfusi ini
berdasarkan pemikiran bahwa menambahkan komponen darah relatif mirip menyiram
bensin dalam api kebakaran, namun pendapat ini tidak terlalu kuat, mengingat
akan terjadinya hiperfibrinolisis jika koagulasi sudah maksimal. Sesudah
keadaan ini merupakan masa yang tepat untuk memberi trombosit dan komponen
plasma, untuk memperbaiki kondisi perdarahan.
Satu-satunya terapi medikamentosa
yang dipakai ialah pemberian antitrombosis, yakni heparin. Obat kuno ini tetap
diberikan untuk meningkatkan aktivitas antitrombin III dan mencegah konversi
fibrinogen menjadi fibrin. Obat ini tidak bisa melisis endapan koagulasi, namun
hanya bisa mencegah terjadinya trombogenesis lebih lanjut. Heparin juga mampu
mencegah reakumulasi clot setelah terjadi fibrinolisis spontan. Dengan dosis
dewasa normal heparin drip 4-5 U/kg/jam IV infus kontinu, pemberian heparin
harus dipantau minimal setiap empat jam dengan dosis yang disesuaikan. Bolus
heparin 80 U tidak terlalu sering dipakai dan tidak menjadi saran khusus pada
jurnal-jurnal hematologi. Namun pada keadaan akut pemberian bolus dapat menjadi
pilihan yang bijak dan rasional. Apalagi ancaman DIC cukup serius, yakni
menyebabkan kematian hingga dua kali lipat dari risiko penyakit tersebut tanpa
DIC. Semakin parah kondisi DIC, semakin besar pula risiko kematian yang harus
dihadapi.
KOMPLIKASI
ü
Syok
ü
Edema Pulmoner
ü
Gagal Ginjal Kronis
ü
Gagal Sistem Organ
Besar
ü
Konvulsi
ü
Koma
ü
Hipovolemia
ü
Hipoksia
ü
Hipotensi
ü
Asidosis
ü
Perdarahan intracranial
ü
Gastrointestinal
ü
Iskemia
ü
Emboli paru
ü
Penyakit kardiovaskuler
ü
Penyakit autoimun
ü
Penyakit hati menahun
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1. Adanya faktor-faktor predisposisi:
· Septicemia
(penyebab paling umum)
· Komplikasi
obstetric
· SPSD
(sindrom distress pernafasan dewasa)
· Luka
bakar berat dan luas
· Neoplasia
· Gigitan
ular
· Penyakit
hepar
· Beda
kardiopulmonal
· Trauma
.2 Pemeriksaan fisik:
1.
Perdarahan abnormal pada semua system dan pada sisi prosedur
invatif
a. kulit dan mukosa membrane
1.
Perembesan difusi darah atau plasma
2.
Purpura yang teraba pada awalnya di
dada dan abdomen
3.
Bula hemoragi
4.
Hemoragi subkutan
5.
Hematoma
6.
Luka bakar karena plester sianosis
akral ( estrimitas berwarna agak kebiruan, abu –abu, atau ungu gelap )
b. sistem GI
1.
Mual dan muntah
2.
Uji guayak positif pada emesis atau
aspirasi
3.
Nasogastrik dan feses
4.
Nyeri hebat pada abdomen
5.
Peningkatan lingkar abdomen
c. sistem ginjal
1.
Hematuria
2.
Oliguria
d. sistem pernafasan
1.
Dispnea
2.
Takipnea
3.
Sputum mengandung darah
e. sistem kardiovaskuler
1.
Hipotensi meningkat dan postural
2.
Frekuensi jantung meningkat
3.
Nadi perifer tidak teraba
f. sistem saraf perifer
1.
Perubahan tingkat kesadaran
2.
Gelisah
3.
Ketidaksadaran vasomotor
4.
Sistem muskuloskeletal
5.
Nyeri : otot,sendi,punggung
h. Perdarahan sampai hemoragi
1.
Insisi operasi
2.
Uterus post partum
3.
Fundus mata perubahan visual
4.
Pada sisi prosedur invasif :
suntikan, IV, kateter arteral dan selang nasogastrik atau dada, dll.
5.
Kerusakan perfusi jaringan
a.
Serebral : perubahan pada sensorium, gelisah, kacau mental, sakit kepala
b. Ginjal : penurunan pengeluaran urin
c. Paru : dispnea dan orthopnea
d. Kulit : akrosianosis (
ketidakteraturan bentuk bercaksianosis pada lengan perifer dan kaki )
Diagnosa Keperawatan
· Resiko tinggi
terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hemoragi sekunder.
- Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan meningkatnya tingkat ansietas dan adanya pembekuan darah.
- Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan
- Defisit volume cairan yang berhubungan dengan hemoragi perebesan darah dan tepat fungsi kongesti jaringan dan perlambatan volume darah bersirkulasi.
- Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan keadaan syok, hemoragi, kongesti jaringan dan penurunan perfusi jaringan.
- Ansietas berhubungan dengan rasa takut mati karena perdarahan, kehilangan beberapa aspek kemandirian karena penyakit kronis yang diderita
- Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan minimnya informasi
- Gangguan konsep diri berhubungan dengan kehilangan yang nyata akan yang dirasakan.
Intervensi Keperawatan
1. Diagnosa keperawatan :
Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hemoragi
sekunder.
Hasil yang diharapkan:
a. Menunjukan tidak ada
manifestasi syok
b. Menunjukan pasien tetap
sadar dan berorientasi
c. Menunjukan tidak ada
lagi perdarahan
d. Menunjukan nilai-nilai
laboraturium normal
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Pantau hasil pemeriksaan koagulasi, tanda-tanda vital, dan
perubahan sisi baru dan potensial.
|
Untuk mengidentifikasi indikasi-indikasi
kemajuan atau penyimpangan.
|
2.
|
Mulai kewaspadaan pendarahan
a. Kewaspadaan
apabila ada resiko terhadap perdarahan (jumlah trobosit kurang dari 50.000/CU
mm23)
1. Tempatkan tanda “kewaspadaan
perdarahan” di atas tempat tidur klien, sehingga petugas perawatan kesehatan
lainnya mengetahui adanya kewaspadaan terhadap perdarahan.
2. Pertahanan
semua sisi fungsi selama 5 menit.
3. Pantau hasil pemeriksaan
koagulasi.
4. Berikan transfuse darah
seperti yang diminta dan sesuai dengan penatalaksanaan medis.
5. Instruksikan klien untuk
menhindari aktivitas fisik berlebih.
6. Tes
gualak untuk semua feses dan muntahan terhadap darah.
7. Inspeksi
urine terhadap heaturia nyata.
8. Periksa
warna dan konsistensi feses. Feses hitam seperti menunjukkan perdarahan GIT.
9. Inspeksi
kulit, rongga oral dan konjungtiva setiap hari dan catat luasnya ptekiacdan
memar bila ada.
10. Gunakan pencukur jenggot
listrik sebagai pengganti pisau cukur.
11. Gunakan sikat gigi berbulu
halus untuk menyikat gigi.
12. Hindari pengukuran suhu
rektal dan tindakan enema.
13. Hindari aspirin dan berbagai produk yang
mengandung aspirin.
14. Instruksikan klien untuk berjalan dengan
menggunakan alas kaki.
15. Selama menstruasi, catat
jumlah pembalut yang digunakan.
b. Kewaspadaan
bila ada resiko terhadap hemoragi spontan (jumlah trombosit kurang dari
20.000/CU mm23).
1. Tempatkan
tanda “kewasfdaan perdarahan” di atas tempat tidur klien, sehingga petugas
perawatan kesehatan lainnya mengetahui adanya kewaspadaan terhadap
perdarahan.
2. Berikan pelunak feses
(bila tes Guaiak negative).
3. Instruksikan klien untuk
menghindari meniup tau batuk keras.
4. Pertahankan tirah baring
klien untuk menghindari trauma yang tidak diinginkan.
5. Pertahankan posisi
kepala, tempat tidur ditinggikan untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan
resiko terjadinya hemoragi intrakranial.
6. Pantau
tanda vital, warna kulit dan suhu, nadi pedalis, status mental, dan bunyi
paru setiap 4 jam.
7. Setiap
2-4 jam, anjurkan klien membalik badan, napas dalam dan latihan gerak
perlahan.
8. Gunakan
kumur perawatan mulut, sebagai pengganti sikat gigi.
9. Hindari
penggunaan pencuci mulut komersial. Gunakan larutan salin atau campuran
natrium bikarbonat dan hydrogen peroksida.
Pertahankan
pelumas atau pelembab kulit dengan lotion.
|
Untuk meminimalkan potensial perdarahan
lebih lanjut.
|
2. Diagnosa
keperawatan
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan meningkatnya tingkat
ansietas dan adanya pembekuan darah.
Hasil yang diharapkan :
- Kebutuhan oksigen klien terpenuhi
No.
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Posisikan klien agar ventilasi udara
efektif.
|
Untuk meningkatkan oksigenasi yang
adekuat antara kebutuhan dan suplai.
|
2.
|
Berikan oksigen dan pantau responnya.
|
|
3.
|
Lakukan pengkajian pernapasan dengan
sering.
|
|
4.
|
Kurangi kebutuhan oksigen dengan menurangi aktivitas yang
berlebih.
|
|
5.
|
Kendalikan stimulus dari lingkungan.
|
3. Diagnosa keperawatan
Nyeri
berhubungan dengan trauma jaringan
Hasil yang diharapkan :
- Rasa nyeri yang dialami klien berkurang
No.
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Kaji lokasi, kualitas dan intensitas
nyeri, gunakan skala tingkat nyeri.
|
Mengetahui tingkat nyeri klien untuk
mengetahui tindakan selanjutan.
|
2.
|
Baringkan klien pada posisi yang nyaman, berikan penyangga
bantal untuk mencegah tekanan pada bagian-bagian tubuh tertentu.
|
|
3.
|
Bantu memberikan perawatan ketika klien mengalami perdarahan
hebat atau rasa tidak nyaman.
|
|
4.
|
Pertahankan lingkungan yang nyaman.
|
|
5.
|
Berikan waktu istirahat yang cukup, buat jadwal aktivitas dan
pemeriksaan diagnostik, bila memungkinkan, sesuaikan dengan toleransi klien.
|
|
6.
|
Bantu klien dengan pilihan tindakan yang nyaman seperti musik,
imajinasi atau distraksi lainnya.
|
|
7.
|
Berikan analgesik sesuai order dokter dan kaji keefktifannya.
|
4. Diagnosa
keperawatan
Defisit volume cairan yang berhubungan dengan hemoragi perebesan darah
dan tepat fungsi kongesti jaringan dan perlambatan volume darah bersirkulasi.
Kriteria Hasil
|
Interfensi Keperawatan
|
Mempertahankan status nemodinamik yang adekuat.
|
1. Kaji
tanda-tanda vital setiap 1 jam.
2. Kaji
dan pantau jantung terhadap frekuensi dan irama jantung.
3. Evaluasi
pengeluaran urin setiap jam (jumlah dan berat jenis).
4. Kaji
bunyi napas setiap 1 jam.
5. Kaji
kualitas dan keberadaan nadi perifer setiap 4 jam.
6. Pertahankan
masukan dan pengeluaran yang akurat.
7. Berikan
cairan IV, sesuai intruksi.
8. Berikan
produk-produk darah sesuai intruksi.
9. Evaluasi
nilai-nilai hasil laboraturium Hb, Ht, Na, K, Cl, PT, PTT, jumlah platelet
produk solit fibri, fibrinogen dan masa pembekuan.
10. Pertahankan
tirah baring.
|
5. Diagnosa
keperawtan
Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan
keadaan syok, hemoragi, kongesti jaringan dan penurunan perfusi jaringan.
Kriteria Hasil
|
Interfensi Keperawatan
|
Kulit akan tetap utuh, tanpa ada bagian yang mengalami memar
atau lecet.
|
1. Kaji
semua permuakaan kulit setiap 4 jam.
2. Angkat,
periksa, dan gantikan semua balutan yang menekan, setiap 4-8 jam sesuai
intruksi.
3. Atur
posisi pasien setiap 2 jam.
4. Evaluasi
semua keluhan-keluhan.
5. Periksa
jumlah SDP terhadap potensi inveksi.
6. Beri
obat sesuai intruksi, untuk member rasa nyaman.
7. Hindari
fungsi berlebihan untuk keperluan pemeriksaan laboraturium, gunakan aliran
arterial atau akses IV pada pembuluh besar untuk pengambilan darah.
8. Gunakan
bantalan restrain yang empuk jika diperlukan.
9. Untuk
keamanan, bantu semua gerakan untuk turun dari tempat tidur.
10. Lakukan
hygiene oral tiap 4 jam.
11. Kaji
semua orificium terhadap adanya hemoragi atau memar.
|
6. Diagnosa
keperawatan
Ansietas
berhubungan dengan rasa takut mati karena perdarahan, kehilangan beberapa aspek
kemandirian karena penyakit kronis yang diderita
Hasil yang diharapkan :
- Klien menunjukan rileks dan melaporkan penurunan ansietas sampai tingkat dapat ditangani.
- Klien menyatakan kesadaran ansietas dan cara sehat menerimanya.
No.
|
Intervensi Keperawatan
|
Rasional
|
1.
|
Mandiri
Catat petunjuk perilaku, misalnya gelisah, peka rangsang,
kurang kontak mata, perilaku menarik perhatian.
|
Indikator derajat ansietas/stress misalnya pasien merasa tidak
dapat terkontrol di rmah, kerja atau masalah. Stress dapat gangguan fisik
juga reaksi lain.
|
2.
|
Dorong menyatakan perasaan, beri umpan balik.
|
Membuat hubungan terapeutik, membantu klien mengidentifikasi
penyebab stress.
|
3.
|
Akui bahwa masalah ansietas dan masalah mirip dengan
diekspresikan orang lain, tingkatkan perhatian mendengarkan klien.
|
Validasi bahwa perasaan normal dapat
membantu menurunkan stress.
|
4.
|
Berikan informasi yang adekuat dan nyata tentang apa yang akan
dilakukan, misalnya tirah baring, pembatasan masukan per oral dan prosedur
tindakan yang lain.
|
Keterlibatan klien dalam perencanaan keperawatan memberikan
rasa control dan membantu menurunkan ansietas.
|
5.
|
Berikan lingkungan yang tenang untuk istirahat.
|
Memindahkan klien dari stress luar, meningkatkan relaksasi,
dan membantu menurunkan ansietas.
|
6.
|
Dorong klien atau orang terdekat untuk menyakan perhatian.
|
Tindakan dukungan dapat membantu klien untuk meringankan
energi untuk dituangkan pada penyembuhan.
|
7.
|
Bantu klien untuk mengidentifikasi
perilaku koping yang dilakukan pada masa lalu.
|
Perilaku yang berhasil dapat dikuatkan
pada penerimaan masalah atau stress saat ini, meningkatkan rasa kontrol diri
klien.
|
8.
|
Bantu klien belajar mekanisme koping
paru, misalnya teknik mengatasi stress dan keterampilan berorganisasi.
|
Belajar cara untuk mengatasi masalah
dapat membantu dalam menurunkan stress, meningkatkan kontrol penyakit.
|
9.
|
Kolaborasi
Berikan obat sesuai indikasi sedatif, misalnya barbiturat,
agen antiansientas dan diazepam.
|
Dapat digunakan untuk menurunkan ansietas dan memudahkan
istirahat.
|
10.
|
Rujuk pada perawat spesialis, pelayanan sosial atau penaasehat
agama.
|
Dibutuhkan bantuan untuk meningkatkan kontrol dan eksaserbasi.
|
7. Diagnosa
keperawatan
Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan
minimnya informasi
Hasil yang diharapkan “
- Ekspresi wajah klien menunjukan rileks, perasaan gugup dan cemas berkurang.
- Menunjukan pemahaman tentang tentang rencana terapeutik.
No.
|
Intervensi Keperawatan
|
Rasional
|
1.
|
Gunakan pendekatan yang tenang dan dapat menenangkan klien
sewktu memberi informasi. Beri dorongan untuk bertanya.
|
Penjelasan yang jelas dan sederhana dan menggunakan
istilah-istilah non-medis atau umum dapat mengurangi tingkat kecemasan dan
rasa bingung klien. Rasa ansietas tersebut dapat mengganggu kegiatan belajar
dari persepsi klien.
|
2.
|
Jelaskan mengenai gambaran singkat tes,
tujuan tes, persiapan tes, dan perawatan setelah tes.
|
Penjelasan tentang apa yang diharapkan membantu mengurangi
ansietas.
|
8. Diagnosa
keperawatan
Gangguan konsep diri berhubungan dengan kehilangan yang nyata
akan yang dirasakan
Hasil yang diharapkan :
- Peningkatan partisipasi klien dalam perawtan dirinya.
- Perubahan gaya hidup.
No.
|
Intervensi Keperwatan
|
Rasional
|
1.
|
Biarkan klien dan oreng terdekat mengungkapkan perasaannya.
|
Mempermudah penyelesaian masalah dan memungkinkan perawat
mengidentifikasi fase kesedihan klien.
|
2.
|
Hindari pemberian informasi yang bertubi-tubi selama fase awal
proses berduka. Jawab pertanyaan khusus. Masukan informasi saat klien
menunjukan kesiapan mempelajari perawatan diri.
|
Interaksi terapi dapat membantu perubahan individu untuk
menerima informasi berlebihan.
|
3.
|
Beri nomor telepon orang yang bias dimintai dukungan oleh
klien dan kleuarga saat pulang. Ingatkan klien untuk melihat dirinya dengan
pandangan yang berbeda. Katakana pada klien bahwa ia harus menerima
keadaannya sekarang.
|
Sistem pendukung kuat dapat seperti keluarga penting untuk
kemajuan klien dalam proses berduka.
|
4.
|
Berikan penghargaan untuk mengekspresikan
perasaan. Arahkan klien pada kelompok
pendukung komunitas sesuai indikasi.
|
Dukungan komunitas penting untuk meningkatkan
kemajuan ke atah penerimaan.
|
5.
|
Pertahankan keluarga mendapatkan
informasi tentang kemajuan klien. Libatkan keluarga secara sering dalam perawatan klien.
|
Membantu klien menyatukan kembali citra tubuh yang baru.
|
6.
|
Bila memungkinkan, biarkan klien untuk menentukan pilihan
dalam penawaran diri atau perawatan higiene rutin.
|
Meningkatkan kontrol diri.
|
7.
|
Bantu klien memandang penyakit kronis atau perubahan citra
tubuh sebagai tantangan untuk pertumbuhan daripada situasi yang tidak
mungkin. Gunakan istilah tantangan pertumbuhan sebagai ganti kecacatan. Bila
ada penyakit terminal,tekankan bahwa penelitian untuk pengobatan masih terus
berlanjut dan hindari janji palsu.
|
Janji palsu menghambat kebutuhan individu untuk mengungkapkan
perasaan.
|
8.
|
Lakukan rujukan psikiatrik sesuai
peklaksanaan bila perlu.
|
Bantuan profesional mungkin perlu untuk
membantu klien yang maladaptive, misalnya menyangkal jangka panjang, menarik
diri dari sosial dan regresi.
|
Diagnosa banding yang harus diperhatikan :
Kekurangan
vitamin K
Fibrinolisis sekunder
Hemofili
EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi
adalah kegiatan yang dilakukan dengan terus menerus dengan melibatkan pasien,
perawat dan anggota im kesehatan lainnya
Tujuan evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana
keperawatan tercapi dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian
ulang.
Kriteria dalam menentukan tercapainya suatu
tujuan, pasien:
· Tidak
ada manifestasi syok
· Pasien
tetap sadar dan berorirentasi
· Tidak
ada lagi perdarahan
· Nilai-nilai
laboraturium normal
· Klien
tidak merasa sesak lagi
· Klien
mengatakan rasa nyerinya berkurang
· Kebutuhan
volume cairan terpenuhi
· Integritas
kulit terjaga
· Klien
menunjukan rileks dan melaporkan penurunan ansietas sampai tingkat dapat
ditangani.
· Klien
menyatakan kesadaran ansietas dan cara sehat menerimanya.
· Ekspresi
wajah klien menunjukan rileks, perasaan gugup dan cemas berkurang.
· Menunjukan
pemahaman tentang tentang rencana terapeutik.
· Klien
ikut berpartisipasi dalam perawatan dirinya.
· Gaya hidup
klien berubah.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
DIC adalah suatu sindrom ditandai dengan
adanya perdarahan atau kelainan pembekuan darah sehingga terjadi gangguan
aliran darah yang menyebabkan kerusakan pada berbagai organ. Diagnosa
keperawatan yang dapat ditegakkan salah satunya adalah resiko tinggi
terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hemoragi sekunder. Dari
diagnose tersebut, intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah memantau
hasil pemeriksaan koagulasi, tanda-tanda vital, dan perubahan sisi baru dan
potensial.
Saran
Setelah membaca makalah ini, diharapkan
mahasiswa dapat mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan DIC
dengan tepat sehingga dapat mencegah terjadinya kegawatdaruratan dan komplikasi
yang tidak diinginkan.
Daftar Pustaka
Bare, Brenda G dan Smelttzer, Susanne
G. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC2.
Stitham,Sean.2008. Disseminated Intravascular Coagulation
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/healthtopics.html.Diakses
tanggal 26 September 10.00 WIB3.
Gando S. A multicenter, prospective validation of disseminated
intravascular coagulation diagnostic criteria for critically ill patients:
comparing current criteria. Crit Care Med. 2006
Farid. 2007. Ancaman Serius Koagulasi Intravaskuler
Diseminasi.http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp. Diakses tanggal 27 September 2009
pukul 17.50 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar